REPUBLIKA.CO.ID, Rasul telah memperingatkan bahwa kekuasaan membawa penyesalan di akhirat, kecuali yang memenuhi syarat dan menunaikan amanah dengan benar (HR Bukhari-Muslim).
Di ambang wafatnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz terjadi dialog yang perlu disimak semua Muslim, terutama para penguasa. Kala itu Umar menangis, lalu ditanya seseorang, "Mengapa Anda menangis wahai khalifah. Bukankah Anda telah menghidupkan kembali sunah-sunah Nabi dan bersikap adil dalam memerintah?" Umar menjawab, "Demi Allah, andai aku adil kepada rakyat, aku tetap khawatir jiwaku tidak mampu menyampaikan kesaksian hingga Allah mengizinkannya. Lalu, bagaimana jika aku bertindak zalim?"
Tiada yang meragukan bahwa beliaulah yang sukses meluruskan kembali perhatian rakyatnya dari kegemaran hanya membicarakan harta dan wanita menjadi masyarakat yang sibuk memperbanyak ibadah dan menghapal Alquran. Dialah yang menghapuskan diskriminasi, mengembalikan harta milik warga dan negara, termasuk perhiasan istrinya karena menduga itu hasil korupsi, penggelapan harta rakyat, dan manipulasi pajak di era kekuasaan mertua Umar.
Perkembangan ekonomi begitu meratanya hingga warga Afrika Utara berubah dari penerima zakat menjadi wajib zakat dalam tempo tak sampai dua tahun. Namun, jiwa penguasa beriman selalu berayun di dua titik: penuh harap diampuni-Nya, tapi juga khawatir masuk neraka karena mungkin pernah menzalimi rakyat. Sayang, sikap Umar tak ditiru setiap penguasa. Padahal, Rasulullah Saw bersabda bila seseorang memerintah kaum Muslimin, lalu dia membohongi rakyatnya, maka Allah mengharamkan surga baginya (HR Bukhari-Muslim).
Bayangkan, hanya menipu rakyat bisa diazab begitu berat. Soalnya, kebohongan kepada rakyat mendorongnya berbuat kezaliman lain, seperti mengorup aset negara, mencabut hak rakyat atas subsidi, dan memanfaatkan negara untuk memperoleh lahan bisnis pribadi. Apalagi, bila penguasa menzalimi terang-terangan, semisal menambah pajak, menaikkan harga barang umum dan pelayanan publik, serta memata-matai, menangkapi, melukai, dan menyudahi para pengkritik.