REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia bersama Tunisia dan Afrika Selatan memprakarsai pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tingkat menteri untuk membahas situasi Timur Tengah terutama rencana aneksasi bagian-bagian wilayah Tepi Barat oleh Israel. Pertemuan secara virtual pada Rabu (24/6) juga dihadiri Sekretaris Jenderal PBB, Sekretaris Jenderal Liga Arab, UN Special Coordinator for the Middle East Peace Process, Menteri Luar Negeri Palestina, dan Menteri Luar Negeri dari beberapa negara anggota DK PBB.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi yang mengikuti pertemuan ini menyampaikan pernyataan tajam kepada seluruh anggota DK PBB. "Pilihan ada di tangan kita, apakah akan berpihak kepada hukum internasional, atau menutup mata dan berpihak di sisi lain yang memperbolehkan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional?" tanya Retno.
"Sudah terlalu lama rakyat Palestina mengalami ketidakadilan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan situasi kemanusiaan yang buruk. Aneksasi Israel merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Palestina," ujarnya dalam keterangan resmi Kementerian Luar Negeri RI yang diterima Republika, Kamis (25/6).
Dalam pertemuan yang dipimpin Perancis selaku Presiden DK PBB Juni 2020 ini, Menlu Retno menegaskan tiga hal alasan penting masyarakat internasional harus menolak rencana aneksasi Israel. Pertama, rencana aneksasi formal Israel terhadap wilayah Palestina merupakan pelanggaran hukum internasional.
Menurut Retno, memperbolehkan aneksasi artinya membuat preseden di mana penguasaan wilayah dengan cara aneksasi adalah perbuatan legal dalam hukum internasional. "Seluruh pihak harus menolak secara tegas di seluruh forum internasional baik melalui pernyataan maupun tindakan nyata bahwa aneksasi adalah illegal," ujar Retno.
Kedua, Retno mengatakan, rencana aneksasi formal Israel ini merupakan ujian bagi kredibilitas dan legitimasi DK PBB di mata dunia internasional. DK PBB didesak harus cepat mengambil langkah cepat yang sejalan dengan Piagam PBB.
"Siapa pun yang mengancam terhadap perdamaian dan keamanan internasional harus diminta pertanggungjawabannya dihadapan DK PBB. Tidak boleh ada standar ganda," ujar dia.
Alasan ketiga yang disampaikan Retno, aneksasi akan merusak seluruh prospek perdamaian dan aneksasi juga akan menciptakan instabilitas di Kawasan dan dunia. Untuk itu, terdapat urgensi adanya proses perdamaian yang kredibel di mana seluruh pihak berdiri sejajar.
"Ini waktu yang tepat untuk memulai proses perdamaian dalam kerangka multilateral berdasarkan parameter internasional yang disepakati," tegasnya.
Menlu Retno juga menekankan pentingnya dunia mengatasi situasi kemanusiaan di Palestina termasuk di dalamnya pengungsi Palestina. Pandemi semakin memperparah penderitaan rakyat Palestina sehingga dukungan untuk lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, khususnya badan pengungsi Palestina atau United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), sangat penting.
Indonesia dalam hal ini menyampaikan peningkatan kontribusi untuk Palestina yang diberikan baik secara langsung kepada Palestina maupun melalui UNRWA di tahun 2020. "Ketidakadilan terjadi bukan karena absennya keadilan itu sendiri. Ketidakadilan terjadi karena kita membiarkan hal itu terjadi. Ini waktunya kita hentikan ketidakadilan tersebut," tutup Retno.