REPUBLIKA.CO.ID,BENGKULU -- Masyarakat Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu bertekad mempertahankan status zona hijau dengan nol kasus konfirmasi positif Covid-19, meski pulau terluar Indonesia itu sangat minim fasilitas kesehatan.
Sejak kasus konfirmasi positif Covid-19 pertama yang diumumkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah pada akhir Maret lalu, hingga Kamis (25/6) tidak satupun warga di pulau berpenduduk sekitar tiga ribu jiwa itu menyandang status terduga terpapar, baik itu Orang Dalam Pemantauan (ODP) atau Pasien Dengan Pengawasan (PDP).
Ketatnya pengawasan lalu lintas orang di pintu masuk pulau baik di dermaga maupun di bandara disebut menjadi kunci kesuksesan pulau yang secara administratif berada di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu dalam menghadang pagebluk Covid-19.
Selain itu, kentalnya nilai adat istiadat membuat masyarakat pulau berpikir dua kali jika ingin melanggar ketentuan yang telah disepakati perangkat desa dan tokoh disana dalam rangka mencegah infeksi virus corona jenis baru.
Ketua Forum Kepala Desa, Kecamatan Enggano Reddy Heloman membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, pemerintahan enam desa di pulau itu bersama tokoh adat memberikan syarat tertentu bagi warga yang ingin meninggalkan pulau, hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi penularan Covid-19.
Setiap warga yang mau meninggalkan pulau harus mendapat persetujuan kepala desa untuk diberikan surat jalan, jika tidak maka tidak boleh meninggalkan pulau.
Surat jalan itu wajib ditunjukkan ke pemangku kebijakan di daerah tujuan, seperti kepala desa atau ketua RT tujuan dan harus mendapat tanda tangan.
Nantinya, ketika kembali ke pulau warga itu harus menunjukkan lagi surat tugas yang telah ditandatangani tempat tujuan ke kepala desa di pulau, jika tidak warga itu untuk sementara tak boleh kembali ke pulau.
Tujuannya tidak lain agar pemerintah desa dan tim gugus tugas Covid-19 di sana bisa memonitor kemana saja mereka pergi, sehingga kalau terjadi penularan bisa telusuri. "Fasilitas kesehatan di sini sangat minim, tenaga medisnya dan APD juga minim, jadi kita berupaya mencegah agar virus itu tak masuk ke pulau ini, karena kalau sudah terinfeksi jadi susah, apalagi pulau ini kan jauh dari daratan," jelas Reddy.
Surat jalan dari kepala desa itu pun tak boleh diberikan ke sembarang warga dan hanya mereka yang memiliki keperluan mendesak saja yang diberikan.
Mereka yang ingin keluar pulau terlebih dulu akan diseleksi oleh pemerintah desa bersama tokoh adat. "Sejauh ini belum ada masyarakat adat Enggano yang melanggar aturan itu dan kalau warga itu cuma untuk jalan-jalan saja kamitidak akan berikan izin keluar pulau," tegasnya.
Aturan ketat juga diberlakukan bagi pendatang yang ingin berkunjung ke pulau, mereka wajib memiliki surat keterangan bebas Covid-19 dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan dan ditunjukkan ke petugas jaga baik di dermaga maupun di bandara.
Soal ini, kata Reddy, sudah banyak pendatang yang tidak diizinkan masuk ke pulau karena tak memiliki surat bebas Covid-19, mereka bahkan tidak dibolehkan turun dari kapal dan harus menunggu sampai jadwal pelayaran selanjutnya membawa mereka kembali ke daerah asal.
Aturan ini berlaku untuk seluruh pendatang tanpa mengenal status sosial baik itu pejabat daerah, karyawan swasta maupun pihak lainnya. Pengalaman melewati ketatnya pengawasan masuk ke Pulau Enggano di tengah pandemi Covid-19 ini pernah dialami tiga orang karyawan PT Pos Indonesia Cabang Bengkulu saat menyalurkan Bantuan Sosial Tunai (BST) Covid-19 ke pulau tersebut beberapa waktu lalu.
Kepala Kantor Pos Cabang Bengkulu Guntama Pramudya menceritakan pengalaman menyiapkan anak buahnya untuk dikirimkan ke pulau tersebut.
Kata dia, pihaknya terpaksa memilih tiga orang karyawan pos untuk mengikuti tes cepat (rapid test) agar bisa masuk ke pulau tersebut. Tiga orang yang diutus itu juga dibekali dengan surat tugas yang menerangkan bahwa mereka sedang menjalankan tugas yang diberikan negara untuk menyalurkan BST.
Dari pengalaman tiga orang anak buahnya itu, mereka melihat bahwa banyak penumpang kapal yang naik bersama mereka tidak dibolehkan turun dari kapal karena tidak memiliki surat bebas Covid-19.
"Jadi protokol kesehatan disana memang sangat ketat sekali, penumpang yang tidak memiliki surat rapid test walaupun dia warga disana tidak boleh turun dari kapal," ucap Guntama.
Tiga orang anak buahnya hanya berada di Pulau Enggano hanya beberapa jam saja, setelah penyaluran BST, sore harinya ketiganya langsung bertolak kembali ke Kota Bengkulu melalui Pelabuhan Pulau Baai.
Kunjungan pendatang dibatasi
Koordinator Wilayah (Korwil) Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bengkulu Henny Dwi Kartika menjelaskan, sejak pandemi Covid-19, kunjungan pendatang ke Pulau Enggano sangat dibatasi.
Hal ini dilakukan berdasarkan Surat Edaran (SE) gugus tugas Covid-19 nasional yang mengatur tentang kawasan pulau terluar yang masih menyandang status zona hijau agar dilakukan pengawasan ketat guna mencegah penularan.
Sebab, kata dia, potensi penularan di kawasan pulau dengan luas sekitar 400 meter persegi seperti Pulau Enggano akan sangat besar ketika sudah ditemukan satu kasus konfirmasi positif, karena itu upaya antisipasi sangat perlu dilakukan.
"Penumpang pendatang yang mau ke pulau itu dari Kota Bengkulu memang dibatasi, yang boleh keluar masuk itu hanya penduduk Enggano saja," ucap Henny.
Namun, kata dia, pendatang yang memiliki urusan penting tetap dibolehkan masuk dengan syarat membawa surat keterangan bebas Covid-19 atau menunjukkan surat tes cepat dengan hasil nonreaktif. Waktu berkunjung pendatang juga dibatasi yakni sesuai dengan masa berlaku tes cepat yaitu selama tiga hari.
"Sejauh ini sudah ada sekitar 60 sampai 70 orang yang tidak diizinkan turun kapal karena tidak ada surat keterangan hasil tes cepat," katanya.
Sedangkan untuk warga Pulau Enggano yang ingin keluar diwajibkan membawa surat keterangan sehat yang dikeluarkan fasilitas kesehatan. Syarat itu memang dipermudah ketimbang syarat yang diberikan bagi pendatang mengingat terbatasnya jumlah alat tes cepat yang ada di pulau tersebut.
"Warga Enggano yang mau keluar wajib periksa influenza, hanya surat keterangan yang bersangkutan benar-benar sehat," paparnya.
KKP menempatkan tiga orang anggotanya untuk berjaga di dermaga Pulau Enggano bersama tim terpadu lainnya, sedangkan di bandara pihaknya menempatkan sekitar enam orang petugas.
Kekurangan tenaga kesehatan
Pulau Enggano dengan luas sekitar empat ratus meter persegi dan jumlah penduduk sekitar tiga ribu jiwa itu hanya memiliki satu dokter saja. Dokter tersebut harus membagi waktu, sebab ada dua fasilitas kesehatan yang harus dilayani yakni di Puskesmas dan di rumah sakit terapung.
Beruntung, dengan kondisi kekurangan dokter ini belum ditemukan kasus konfirmasi positif Covid-19, jika ditemukan kemungkinan risiko penularan virus sangat tinggi karena minim penanganan.
Apalagi, Alat Pelindung Diri (APD) untuk menangani pasien Covid-19 di pulau itu jumlahnya sangat terbatas dan fasilitas kesehatan lainnya seperti alat bantu pernapasan juga terbatas.
Kondisi semakin diperparah dengan jarak tempuh dari Pulau Enggano ke rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 di Kota Bengkulu selama 12 jam menggunakan kapal.
"Kalau dokter di sini cuma saya sendiri, kalau perawat dan bidan sudah tercukupi," kata dokter Mei Noffiandi saat diwawancarai usai menerima bantuan APD dari Satgas BUMN Bengkulu di Kota Bengkulu, Rabu lalu.
Ia menjelaskan, jumlah tenaga kesehatan di rumah sakit terapung sebanyak 15 orang dengan rincian 12 orang perawat dan tiga orang bidan, sedangkan di Puskesmas total tenaga kesehatan mencapai 23 orang.
Meski kekurangan jumlah tenaga medis, dia memastikan pelayanan kesehatan di Pulau Enggano di tengah pandemi Covid-19 ini tetap berjalan. Hanya saja, kata dia, ada beberapa kegiatan layanan kesehatan yang berubah karena menyesuaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Pelayanan kesehatan seperti imunisasi bagi anak bayi dan ibu hamil yang biasanya dilakukan di Posyandu kini dilakukan dipusatkan di Puskesmas dan ada pula yang didatangi langsung ke rumah.