REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas) selama 6 bulan badan ini bekerja dinilai kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) tetap memandang kehadiran organ dewan pengawas di dalam KPK kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
"Dibentuknya Dewan Pengawas KPK tetap dipandang sebagai alat kontrol Presiden terhadap KPK," kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola dalam diskusi virtual di Jakarta, Kamis (26/6).
Setidaknya, kata dia, ada dua argumentasi untuk menolak keberadaan dewan pengawas, yakni pertama, model pengawasan KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah cukup baik, mulai dari pengawasan administratif (Presiden, DPR, dan Ombudsman), keuangan (BPK), yudisial (pengadilan), masyarakat, dan internal (Deputi Pengawas Internal KPK).
"Langkah pembentuk undang-undang yang memaksakan adanya dewan pengawas menunjukkan bahwa DPR dan Presiden tidak memahami konteks memperkuat KPK," kata Alvin menegaskan.
Kedua, kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas KPK rawan untuk dipersoalkan pada masa mendatang. Hal ini menyoal Pasal 37B Ayat (1) Huruf b UU No. 19/2019 tentang revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa salah satu tugas dari Dewan Pengawas adalah memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
"Ketentuan ini keliru sebab Dewan Pengawas KPK sendiri tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana sehingga tidak memungkinkan memiliki otoritas untuk memberikan atau tidak memberikan izin tindakan pro justitia. Lembaga yang berwenang atas kewenangan tersebut hanya pengadilan," kata Alvin menandaskan.
Selain itu, pendapat yang dikaitkan dengan prinsip tata kelola organisasi sebagai alasan perlunya dibentuk Dewan Pengawas, menurut dia, justru menunjukkan buruknya pemahaman atas dasar pendirian Dewan Pengawas KPK.
"Dewan pengawas memang dibutuhkan dalam organisasi pada kondisi yang normal. Namun, lembaga KPK justru dibentuk karena adanya kondisi yang tidak normal, yakni tidak berjalan dengan baiknya lembaga aparat penegak hukum (APH) dalam menjalankan tugas dan fungsinya mencegah dan memberantas korupsi," tambah Alvin.
Ketidakefektifan ini dapat dilihat ketika pada tanggal 27 April 2020, Dewan Pengawas KPK memberikan sejumlah rekomendasi kepada pimpinan KPK di 18 permasalahan, mayoritas ada di sektor penindakan. Akan tetapi, 33 rekomendasi tersebut tidak memiliki kekuatan yang kuat dan mengikat.