REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Umat Islam memahami betapa pentingnya niat untuk memulai segala sesuatu. Bahkan jika seseorang hendak melakukan kebaikan dalam niatnya, maka Allah sudah mencatat satu kebaikan untuk dia. Lantas bagaimana jika niatnya buruk?
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya berjudul "Tafsir Alquran al-Adzhim" menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan perbuatan buruk dari niatnya ada tiga kriteria. Pertama, orang yang berniat melakukan keburukan lalu meninggalkannya atas dasar Allah SWT, maka tidak terhitung baginya dosa. Yang ada, dia mendapat satu pahala kebaikan karena telah berhasil menangkal niat buruknya menjadi aksi.
Kedua, orang yang berniat melakukan keburukan namun urung dilakukan karena dia lupa mengerjakannya. Maka dia tidak mendapatkan dosa dan juga tidak mendapatkan pahala. Ketiga, orang yang meninggalkan keburukan karena gagal mewujudkan keburukan tersebut.
Bagi orang semacam ini, dia disamakan telah melakukan keburukan. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah SAW berbunyi:
«إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ»
“Idzal-talqal-Muslimani bisayfayhima falqatilu wal-maqtulu fi nar.”
Artinya: “Jika dua orang Muslim bertemu dengan membawa pedang dengan maksud hendak saling membunuh, maka yang membunuh dan yang dibunuh tempatnya di neraka.”
Baik yang dibunuh maupun yang dibunuh ditempatkan di neraka sebab keduanya sama-sama memiliki niat untuk saling membunuh. Dan keduanya juga merealisasikan niat buruknya tersebut dalam aksi, apapun hasilnya.
Lalu bagaimana jika niat berkorupsi? Tindak kejahatan luar biasa yang menggerogoti bangsa ini tentu saja tidak boleh dilakukan, pun juga jangan sampai terlintas di benar seluruh umat.
Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi karya peneliti-peneliti di Lakpesdam NU dijelaskan, dalam hukum pidana persoalan niat erat kaitannya dengan mens area dan bukan actus area. Sebab niat berhubungan dengan kondisi batin dan psikis pelaku. Sedangkan actus area menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act).
Dengan kata lain, mens area mencakup unsur-unsur pembuat delik, sikap batin yang oleh pandangan monitistis tentang delik disebut dengan unsur subyektif atau delik keadaan psikis si pembuat. Atau dengan kata lain suasana kebatinan pelaku tindak pidana.
Terkait dapat atau tidaknya seorang pelaku tindak pidana dijatuhi sanksi hukum, terdapat tiga pokok yang harus dipenuhi. Yaitu unsur formil, materil, dan mpril. Ketiganya dalam perspektif Islam disebut sebagai rukn syar’i, rukn al-madi, dan rukn al-adabi.
Unsur formil berhubungan dengan asas legalitas. Yakni suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Unsur materil yakni perbuatan melawan hukum dalam suatu delik yang dilakukan. Dan unsur moril yakni pelaku (orang dengan psikis pelaku korupsi) apakah termasuk orang yang layak dibebani hukum atau belum layak.
Semisal akibat masih di bawah umur, sedang tidak sadarkan diri (tidak waras), hingga akibat dia dipaksa pihak lain untuk melakukan tindak pidana. Kata niat ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di pasal 53 ayat (1) termaktub sebagai percobaan pidana.
Bunyi pasal tersebut yakni: “Percobaan untuk melakukan kejahatan (bisa) dipidana, bila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesai-selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri,”.
Namun demikian dalam buku KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal karya R Soesilo disebutkan, undang-undang tidak memberikan definisi percobaan yang dimaksud. Tetapi penjelasan tentang ketentuan-ketantuan syarat-syarat supaya percobaan pada kejahatan itu pun dapat dihukum.
Di sisi lain, niat melakukan korupsi meskipun secara general berada di mens area, namun hal itu terkait dengan unsur subjektif. Niat dilakukan oleh seorang subjek yang terkait erat dengan unsur moril (rukn al-adabi).
Percobaan tindak pidana korupsi tetap dihukum. Karena masuk ke dalam delik khusus yang berlaku kaidah hukum yang khusus dapat mengesampingkan yang umum (lex specialis derogat legi generalis).
Namun demikian, dalam hal percobaan tindak pidana ini, Abdul Qodir Audah dalam At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bil Qanun Al-Wadi berpendapat bahwa penjatuhan sanksi pidana kepada seorang pelaku jarimah juga berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Sedangkan masalah pertanggungjawaban pidana dipastikan berkaitan dengan unsur subyektif dan unsur moril.
Seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila dia tidak termasuk subjek hukum. Yang mana hal tersebut secara moril tidak bermasalah. Dia menyebut, pertanggungjawaban pidana hanya bisa didasarkan pada tiga pilar pokok. Yakni seorang pelaku melakukan perbuatan yang dilarang, seorang pelaku dalam keadaan sadar, dan pelaku harus bebas dari unsur tekanan atau paksaan dari pihak lain.