Jumat 26 Jun 2020 16:10 WIB

Tiga Faktor Pendorong Israel Gerak Cepat Caplok Tepi Barat

Pengamat menilai ada tiga faktor mengapa Israel gerak cepat caplok Tepi Barat

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Para demonstran Palestina berhadapan dengan pasukan Israel saat protes menentang rencana Israel untuk mencaplok bagian-bagian dari Tepi Barat dan inisiatif Timur Tengah Trump, di desa Fasayil, di Lembah Jordan, Rabu (24/6).
Foto: AP / Majdi Mohammed
Para demonstran Palestina berhadapan dengan pasukan Israel saat protes menentang rencana Israel untuk mencaplok bagian-bagian dari Tepi Barat dan inisiatif Timur Tengah Trump, di desa Fasayil, di Lembah Jordan, Rabu (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan ada tiga faktor yang membuat Israel bergerak cepat untuk melakukan aneksasi Tepi Barat dan Lembah Yordan.

"Rencana aneksasi Israel untuk mencaplok wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordan menjadi tantangan bagi PBB yang sudah berulang-ulang mengeluarkan resolusi. Aneksasi ini dilakukan karena Israel melihat adanya tiga faktor utama di dunia, yang memaksanya untuk segera bergerak cepat," ujar Teuku Rezasyah yang dihubungi Antara di Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Faktor pertama adalah sedang terjadinya pelemahan Amerika Serikat di dalam negeri akibat krisis rasial yang terus memuncak. Krisis di dalam negeri ini akhirnya membuka mata dunia atas kerapuhan Amerika Serikat secara ekonomi dan keamanan dalam negeri, sebagaimana dibuktikan dengan merosotnya pertumbuhan ekonomi dan meroketnya angka pengangguran.

Pada saat yang sama, lanjut Teuku, dunia juga melihat memburuknya kewibawaan Gedung Putih dalam menyelesaikan krisis akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Amerika Serikat yang terbiasa mendukung Israel secara politik, diplomatik, dan militer, saat ini makin kesulitan menghadapi gelombang demonstrasi di dalam negeri ini, serta ketakutan akan kalah dalam pemilihan presiden di akhir tahun.

Menyikapi bulan-bulan kritis ke depan ini, Israel memperkirakan Amerika Serikat akan sulit membuat komitmen membantu Israel secara militer. Kemudian, faktor kedua adalah merosotnya kepemimpinan global Amerika Serikat secara militer dan diplomatik.

Hal ini terbukti di Laut China Selatan, di mana Washington tak mampu lagi menekan China, serta harus melihat kedahsyatan militer China secara kualitatif dan kuantitatif di darat, laut, udara, dan ruang angkasa.

"Israel juga melihat sulitnya Donald Trump mengendalikan koalisi global akibat banyak anggotanya yang sedang bermasalah secara pertahanan dan keamanan. Energi Jepang sedang terfokus ke Senkaku, melawan ancaman pendudukan China. Sementara Taiwan, juga ketakutan karena merasa dirinya semakin terancam oleh pencaplokan China," kata Teuku.

Selanjutnya Korea Selatan, selain memiliki trauma sendiri atas Korea Utara, juga menyayangkan kegagalan Washington merangkul Pyongyang, saat kedua pemimpin puncaknya berdialog di Vietnam dan Singapura. Lebih jauh lagi, rotasi militer AS dari Jerman ke wilayah lainnya, memaksa Jerman, Inggris, Prancis, dan para anggota NATO lainnya melakukan konsolidasi sehingga enggan terlibat dalam kegiatan militer di luar Eropa dan Timur Tengah.

Dengan demikian, Israel dapat memperkirakan sulitnya Amerika Serikat menggalang sebuah garansi dari Inggris dan Prancis, bagi sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB guna melindungi aksi militer Israel bulan Juli mendatang.

Faktor ketiga adalah melemahnya solidaritas Gerakan Non-Blok (GNB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) atas nasib masyarakat Palestina karena ekonomi banyak negara di atas rontok akibat Covid-19.

Sebelumnya, banyak negara dalam kelompok di atas yang kesulitan mencapai kriteria yang mereka janjikan dalam Sustainable Development Goals (SDG). Sebelumnya lagi, banyak anggota GNB yang gagal merealisasikan ide-ide yang mereka gaungkan lewat New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP).

Menyimak kondisi struktural yang lemah di atas, Israel memperkirakan mereka akan kesulitan menyatukan posisi politik, militer, dan diplomatik di Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB, saat Israel mencaplok wilayah yang ditargetkannya.

Teuku mengatakan kombinasi tiga faktor di atas agaknya memperteguh niatan Israel untuk sesegera mungkin memperluas wilayahnya. Tentunya para pemikir di Israel sadar sejak dini, jika penghalang mereka nantinya hanyalah Iran, dan pasukan Hezbollah yang sangat sulit berkoalisi secara moril dan militer dengan Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organisation (PLO).

Dengan terus mengedepankan pertentangan Sunni-Syi'ah di Timur Tengah, maka untuk kesekian kalinya negara-negara Teluk akan menolak inisiatif Iran menggalang solidaritas Islam di Timur Tengah untuk melawan penindasan Israel.

"Saat berlangsungnya serangan Israel nanti, dunia hanya dapat menggerutu saat melihat ribuan jenazah rakyat Palestina yang terbujur kaku di tengah jalan dan puing reruntuhan. Sementara negara-negara di Timur Tengah seperti biasanya akan terus diam melihat Iran yang berjuang sendirian di tengah porak porandanya hak asasi masyarakat Palestina," pungkas Teuku.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement