REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menilai, pembakaran bendera salah satu partai politik (parpol) pada aksi tolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), tidak perlu disikapi berlebihan. Apalagi disikapi dengan pengerahan massa atau membawanya ke ranah hukum.
"Sikap berlebihan dalam menyikapinya hanya akan meruncingkan suasana dan dengan sendirinya mengurangi kondusifitas negara dalam menghadapai Covid-19 dan krisis ekonomi," ujar Ray saat dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (26/6).
Padahal, Ray mengingatkan, presiden berulangkali menyatakan agar seluruh warga saling menahan diri untuk untuk menjaga kondusifitas negara. Menurutnya, dari pada memperuncing suasana, lebih baik evalusi sikap dan kebijakan yang dilakukan selama Covid-19 ini berlangsung.
"Toh...ini bukan kali pertama kekecewaan masyarakat atas hasil legislasdi di DPR. Sejak penetapan UU KPK yang baru, pembahasan RUU KUHP, RUU Cipta Lapangan Kerja, UU Minerba dan kemarin rencana pembahasan RUU HIP," ungkap aktivis 98 tersebut.
Menurut Ray, semua dilakukan dengan menerabas berbagai kritik dan keberatan publik. Sosialisasi minim, etika legislasi sering diabaikan, dan minim partisipasi.
Jika dilihat dalam kerangka panjang dan besar ini maka kekecewaan demonstran itu bisa dipahami. Kekecewaan sekaligus ketakutan bahwa partai-partai di DPR akan terus mengabaikan protes dan kritik publik.
"Jadi ini adalah akumulasi dari berbagai kekecewaan dan kekhawatiran itu, tentu disamping subtansi RUU-nya yang dipersoalkan. Sikap keras menghadapi aspirasi warga tidak akan menghasilkan kesejatian bangsa," ujar Ray.
Justru, sambung Ray, alih-alih kesejatian, yang muncul adalah warga yang terus merasa terabaikan, terpinggirkan, dan tentu saja rasa tidak puas yang dalam. Karena itu, baiknya demontrasi dan juga pembakaran bendera salah satu partai itu dilihat dalam rangka tidak maksimalnya pendekatan partai terhadap rakyat. "Malah terbentuknya jarak yang makin dalam antara partai dengan rakyat," ucap Ray.