REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia dan Taliban membantah laporan media soal penawaran sejumlah uang kepada milisi untuk menyerang AS. Sebelumnya sejumlah media melaporkan bahwa unit intelijen militer Rusia telah menawarkan uang kepada milisi terkait dengan Taliban untuk membunuh pasukan Amerika Serikat (AS) dan anggota koalisi NATO lainnya yang beroperasi di Afghanistan.
Laporan New York Times mengatakan bahwa para pejabat intelijen AS yang tak disebutkan namanya menyimpulkan, bahwa unit Rusia tahun lalu diam-diam menawarkan hadiah kepada para milisi Taliban sebagai imbalan atas serangan yang berhasil. Informasi ini kemudian dilaporkan secara independen oleh Washington Post.
Para pejabat mengatakan para milisi yang terkait dengan Taliban, atau elemen-elemen berhubungan erat dengan mereka, diyakini telah mengumpulkan setidaknya sejumlah hadiah uang dari Rusia. Namun kabar itu masih belum jelas serangan apa yang terkait dengan skema tersebut.
Pada Sabtu (27/6), Rusia mengecam tuduhan itu. Kedutaan besar (Kedubes) Rusia di Washington, DC menyebut kabar tersebut tidak berdasar dan hanya lewat sumber anonim. Kedubes mencicitkan melalui akun resmi Twitter-nya bahwa klaim itu telah mengarah pada ancaman langsung terhadap kehidupan karyawan Kedutaan Rusia di Washington DC dan London.
Sementara itu, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid juga membantah laporan New York Times yang mengatakan kelompoknya memiliki hubungan semacam itu dengan agen intelijen. Dia menyebut laporan itu sebagai upaya untuk mencemarkan nama baik kelompok bersenjata.
"Kesepakatan seperti ini dengan agen intelijen Rusia tidak berdasar, pembunuhan dan pembunuhan target kami sedang berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, dan kami melakukannya berdasarkan sumber daya kami sendiri," katanya seperti dikutip Aljazirah, Ahad.
Pada 2019, 20 tentara AS tewas di Afghanistan. Namun belum ada laporan serangan Taliban terhadap posisi AS sejak kedua negara mencapai kesepakatan pada Februari yang membuka jalan bagi AS untuk menarik diri dari konflik selama hampir 20 tahun.
Para pejabat AS sebelumnya mengaitkan unit intelijen Rusia tersebut dengan upaya pembunuhan dan operasi di Eropa yang dimaksudkan untuk mengganggu stabilitas kekuatan Barat. "Namun, tuduhan terbaru ini, jika benar, akan menjadi yang pertama kali unit tersebut terbukti mengatur serangan terhadap pasukan Barat," kata laporan itu.
Sementara pemerintah AS dan Afghanistan sebelumnya menuduh Rusia mendukung Taliban. Tuduhan itu akan mewakili peningkatan besar dalam keterlibatan Rusia selama masa pemerintahan Donald Trump yang telah berjuang untuk mengakhiri kehadiran AS di negara itu.