REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerjemahan karya asing memberi kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk penerjemahan buku dari India, Sindhind, yang menjadi salah satu pijakan bagi ilmuwan Muslim untuk mendalami astronomi. Sarjana Muslim yang berjasa dalam proyek penerjemahan itu adalah Ibrahim al-Fazari.
Namun, sebenarnya proyek ini tak hanya digarap al-Fazari. Beberapa sumber sejarah menyingkapkannya. Salah satunya disampaikan oleh Abraham bin Ezra, sarjana keturunan Yahudi pada abad ke-12. Dia menduga juga keterlibatan Yaqub bin Tariq, ilmuwan Muslim asal Persia, dalam penerjemahan.
Penegasan yang sama pun disampaikan Ahmad Dallal, Sheila Blair, Jonathan Bloom, dan Majid Fakhry dalam Sains-sains Islam. Buku yang diedit John L Esposito itu menyebutkan adanya andil Yaqub bin Tariq. Lebih jauh terungkap bahwa al-Fazari dan Yaqub bin Tariq menerjemahkan Sindhind pada 771 Masehi.
Proses penerjemahan dilakukan di bawah pengawasan seorang astronom India yang mengunjungi istana Khalifah al-Mansyur. Ketika penerjemahan selesai dilakukan, para ilmuwan Muslim berlomba-lomba menghasilkan karya dan temuan terbaik pada bidang astronomi.
Karya terjemahan tersebut pada akhirnya menjadi acuan bagi para sarjana Muslim lainnya. Hingga seabad berikutnya, muncul karya ilmiah terjemahan dari bahasa Yunani berjudul Almagest, yang disusun Ptolemeus. Hal ini kian menggairahkan kajian astronomi di dunia Islam sepanjang abad pertengahan.
Terkait dengan penerjemahan buku dari India yang menjadi rujukan para astronom, nama al-Fazari ikut melambung. Buku-buku sejarah memberinya ruang cukup luas dalam mengangkat kehidupan dan kiprah intelektualnya. Ia lantas dikenal luas sebagai astronom Muslim yang berpengaruh.
Sebaliknya, tak banyak sumber historis yang mengulas Yaqub bin Tariq. Sebenarnya, pemikirannya dalam bidang astronomi juga berpengaruh. Sejumlah kalangan mengatakan, ia bisa disejajarkan dengan para astronom kondang, seperti al-Battani, al- Biruni, dan Tsabit bin Qurah.
Sejarawan Eropa, Jan P Hogendijk, mencoba menelusuri rekam jejak Yaqub bin Tariq. Hasil kajiannya ia tuangkan ke dalam tulisan bertajuk New Light on Lunar Visibility Theory of Yaqub bin Tariq. Hogendijk menegaskan, Yaqub bin Tariq termasuk seorang astronom Muslim paling awal.
Menurut Hogendijk, Yaqub menghabiskan masa hidupnya di Baghdad, Irak. Sebelum terlibat dalam proyek penerjemahan Sindhind, ia sudah melakukan kerja-kerja ilmiah. Hal itu ia lakukan semakin intens seiring masuknya pengaruh dari buku yang ikut ia terjemahkan tersebut.
Sebagai salah satu aktor penting dalam pengalihbahasaan itu, Yaqub memahami benar inti dari astronomi yang dikembangkan di India, termasuk sistem lingkaran orbit yang ditemukan Brahmasphutasiddhanta, penulis Sindhind. Berdasarkan buku itu, ia melakukan kajian dan pengamatan lebih mendalam.
David Pingree dalam buku The Fragments of the Works of Yaqub bin Tariq, Yaqub mampu membuat perhitungan mengenai perkiraan jarak antarplanet, diamater benda, angkasa, hingga perkiraan tahapan bulan sabit. Yaqub menggabungkan pemikiran dari India, Persia, dan Yunani.
Secara garis besar, Yaqub menghasilkan perpaduan antara parameter India dan elemen asli Persia, juga beberapa dari periode helenistik pra-Ptolemaik. Demikian yang tertulis dalam buku Sains-sains Islam. Beberapa pemikiran Yaqub merefleksikan penggunaan metode hitung India.
Selain juga terdapat penggunaan fungsi sinus dalam trigonometri, sumber-sumber sejarah berbahasa Arab belakangan juga memuat sejumlah rujukan terkait zij al-shah yang dikembangkan Yaqub. Ini merupakan sebuah koleksi tabel astronomi berdasarkan pada parameter India dan disusun pada masa Dinasti Sasaniyah, Persia.
Yaqub menuliskan sebuah risalah berjudul Tarkib al-Aflak, atau Penentuan Orbit. Karya itu termasuk rintisan dalam pembahasan mengenai astronomi dan kosmografi pada ranah intelektualitas Islam. Di dalamnya berisi uraian sangat perinci tentang konsep garis orbit planet-planet.
Perhitungan Yaqub
Selain itu, ia pun mampu memperkirakan jarak antarplanet dengan memakai teknik perhitungan dari India. Prestasinya yang lain, imbuh sejarawan sains Kim Plofker pada buku The Biographical Encyclopedia of Astronomers, yakni kemampuannya mengukur dimensi bumi dan benda angkasa.
Dalam perhitungannya, Yaqub menggunakan satuan hitung farsakh. Satu farsakh sama dengan 6,23 km. Menurut hasil perhitungan kala itu, ia mengatakan, luas permukaan bumi sebesar 1,050 farsaks. Sedangkan, planet lainnya, semisal Venus, Jupiter, Saturnus, atau matahari, bisa mencapai 20 ribu farsakh.
Pemikiran-pemikiran Yaqub mengundang pujian dari para ilmuwan. Al-Biruni (973-1050) memandang Tarkib al-Aflak sebagai satu-satunya naskah astronomi Islam yang membahas dengan akurat mengenai kajian kosmografi yang bersumber dari tradisi peradaban India kuno.
Yaqub pun mengungkapkan teori kemunculan bulan baru. Pada masa modern, gagasan itu dikenal dengan penentuan bulan sabit. Berabad-abad silam Yaqub telah berhasil mengukur tahapan bulan sabit, baik melalui perhitungan digit maupun tabel. Karya lain yang ditulisnya adalah Kitab al-Ilal (Buku tentang Sebab Akibat).
Sang ilmuwan menuangkan seluruh alasan, ide, gagasan, maupun pemikirannya dalam risalah ini, terutama penjelasan tentang aturan trigonometri yang digunakan pada tabel buatannya. Beberapa bagian dari naskah itu dikutip al-Biruni. Salah satunya menyangkut dasar-dasar trigonometri pada tabel sinus.
Dari penjelasan Yaqub, angka paling tepat untuk perhitungan astronomi dalam rumus trigonometri antara lain 34-38. Hasil pemikiran ini terus menjadi bahan kajian dan penelahaan oleh para saintis di seluruh dunia hingga berabad-abad kemudian.