REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Astronom mengamati Betelgeuse, bintang raksasa yang sekarat. Bintang yang terletak 650 tahun cahaya dari Bumi itu menunjukkan penurunan dramatis dalam tingkat kecerahannya.
Penelitian baru mengaitkan bintik-bintik bintang yang sangat besar dengan penampilan Betelgeuse. Penelitian baru yang didaftarkan untuk diterbitkan dalam The Astrophysical Journal Letters tersebut menghubungkan perubahan luninositas (kecerahan) Betelgeuse terhadap bintik raksasa dalam photosphere. Photosphere adalah bagian dari permukaan bintang yang sangat bercahaya atau bersinar terang.
Bintik-bintik gelap dan sejuk di Betelgeuse ini mirip seperti bintik matahari. Namun, bintik ini menutupi hingga 50 persen dan 70 persen dari permukaan bintang sehingga cahaya bintang itu meredup secara dramatis. Penelitian baru tersebut dipimpin oleh astronom Thavisha Dharmawardena dari the Max Planck Institute for Astronomy.
Bintang Betelgeuse merupakan bintang raksasa merah yang berjarak paling dekat dengan Bumi. Bintang ini memiliki diameter sekitar 1.200 kali lipat matahari. Jika menempatkan Betelgeuse di tengah tata surya, maka itu akan meluas hingga ke orbit Jupiter.
Terletak di konstelasi Orion, bintang ini mudah terlihat oleh mata telanjang. Bintang besar yang membingungkan tersebut memiliki massa 11 Matahari. Suhunya diperkirakan mencapai 3.500 Kelvin.
Bintang ini diklasifikasikan sebagai bintang variabel semi-reguler, karena kecerahannya berfluktuasi seiring waktu. Ini adalah karakter yang tidak biasa untuk raksasa merah.
"Menjelang akhir hidup mereka, bintang-bintang menjadi raksasa merah. Ketika pasokan bahan bakar mereka habis, proses berubah dengan mana bintang melepaskan energi. Akibatnya, mereka menggembung, menjadi tidak stabil dan berdenyut dengan periode ratusan atau bahkan ribuan hari, yang kita lihat sebagai fluktuasi kecerahan," kata Dharmawardena dalam siaran pers, dilansir di Gizmodo, Sabtu (27/6).
Namun, yang tidak biasa adalah sejauh mana penurunan dalam luminositas itu terlihat di Betelgeuse.
Bertentangan dengan hipotesa sebelumnya
Bintang Betelgeuse yang meredup disebut disebabkan oleh debu yang dikeluarkannya. Debu itu berasal dari bintang itu sendiri. Sebab luas permukaannya yang besar dan kerapatan yang relatif rendah, bintang ini dengan mudah membuang lapiran gas luarnya ke ruang angkasa. Setelah pendinginan, lapisan gas itu berubah menjadi debu.
Proses ini membuat astronom di Australian National University, Daniel Cotton, dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa jumlah debu yang sangat besar di sekitar Betelgeuse dapat menjelaskan penurunan aneh dalam kecemerlangan bintang ini.
Sementara itu, makalah Dharmawardena menantang teori ini. Dharmawardena menggunakan data lama dan baru yang dikumpulkan oleh Atacama Pathfinder Experiment (APEX) dan the James Clerk Maxwell telescope (JCMT), yang mengukur radiasi pada panjang gelombang sub-milimeter.
"Yang mengejutkan kami adalah Betelgeuse berubah 20 persen lebih gelap bahkan di kisaran gelombang sub-milimeter," kata Steve Mairs, penulis pendamping penelitian ini dan peneliti di East Asian Observatory.
Berdasarkan pengamatan sebelumnya, para peneliti menyimpulkan bahwa perilaku ini tidak sesuai dengan keberadaan debu. Perhitungan berikutnya dalam rentang spektral ini menegaskan kecurigaan-kecurigaan tersebut, bahwa menurunnya kecemerlangan dalam rentang gelombang sub-milimeter ini tidak dapat dijelaskan oleh adanya debu. Menurut penelitian baru tersebut, sesuatu harus terjadi di dalam bintang itu sendiri.
Para astronom mengakui bahwa kecerahan suatu bintang bergantung pada diameter dan suhu permukaannya. Dengan demikian, kegelapan yang diamati dalam cahaya yang tampak itu dan dalam panjang gelombang sub-milimeter harus menyebabkan pengurangan dalam suhu permukaan rata-rata Betelgeuse.
Namun begitu, rekan penulis penelitian tersebut, Peter Scicluna, dari European Southern Observatory (ESO) mengatakan bahwa distribusi suhu asimetris lebih mungkin terjadi.
"Gambar resolusi tinggi yang sesuai dari Betelgeuse dari Desember 2019 menunjukkan area dengan kecerahan yang bervariasi," katanya.
Secara bersama-sama, data ini menunjuk pada keberadaan bintik-bintik bintang besar yang mencakup hingga 50 persen dan 70 persen dari luas permukaan yang terlihat di Betelgeuse, pada suhu yang lebih rendah daripada photo sphere yang sangat bercahaya.
Masih jadi bahan kajian
Seorang profesor astronomi di University of Washington yang juga penulis buku sains populer The Last Stargazers, Emily Levesque, mengungkapkan bahwa ia senang melihat data tentang Betelgeuse di sub-milimeter. Ia mengatakan, pengamatan mereka menunjukkan bahwa Betelgeuse telah berubah-ubah pada panjang gelombang yang panjang ini untuk sementara waktu.
"Jadi memahami bagaimana ini berhubungan dengan peredupan dramatis yang kita lihat musim dingin lalu jelas merupakan bagian penting dari teka-teki," kata Levesque, yang tidak terlibat dalam penelitian baru tersebut.
Miguel Montarges dari Ku Leuven’s Institute of Astronomy dalam sebuah email kepada Gizmodo, mengatakan bahwa hasil tersebut sangat menarik karena memberikan bukti yang bertentangan dengan asumsi sebelumnya, yang menyatakan bahwa peredupan historis Betelgeuse dapat disebabkan oleh debu.
"Kami tampaknya menghadapi pengamatan yang saling bertentangan antara Dharmawardena dan Cotton. Ini sangat menarik. Tampaknya semakin banyak kita memiliki data tentang Betelgeuse, semakin kompleks tampaknya itu," ujar Montarges.
Montarges mengatakan, pihaknya telah melihat Betelgeuse dari panjang gelombang yang berbeda, dengan resolusi sudut yang berbeda, dan dengan pengamatan referensi yang diambil pada tanggal yang berbeda. Menurutnya, memahami peredupan tersebut memberikan waktu untuk berpikir sejenak.