Senin 29 Jun 2020 05:49 WIB

'Kembalikan Pancasila Pada Tempatnya'

JJ Rizal sebut Hamka pernah mempertanyakan posisi umat Islam dalam sejarah Indonesia.

Rep: Fitrianto/ Red: Bilal Ramadhan
Buya Hamka
Foto: Google.com
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh sebelum Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) marak di jadi pembicaraan di tengah masyarakat, almarhum Buya Hamka sejatinya sudah memberi arah dan panduan, tentang bagaimana masyarakat  dan khususnya umat Islam memperlakukan ideologi negara tersebut.

Mantan Ketua Umum MUI Pusat tersebut dalam sejumlah tulisan dan bukunya menjelaskan bahwa. Islam atau masyarakat muslim Indonesia dengan Pancasila tak bisa dipisahkan satu sama lain. Sehingga jika ada pihak atau kalangan yang mencoba membelokan mana dan semangat besar yang terdapat dalam kelima sila yang dikandung, maka sejatinya mereka telah mengkhianati spirit dan sumbangan yang telah diformulasikan oleh para bapak bangsa saat merancang haluan NKRI.

Sehingga dalam membaca sejarah, bangsa Indonesia bisa melihat secara lebih menyeluruh tentang keterlibatan keterlibatan umat Islam dalam merumuskannya serta  pembetukan Pancasila ini.

Pemikiran tersebut menjadi tema dan pesan dasar yang disampaikan sejumlah pembicara dalam diskusi virtual  atau Webinar yang diselenggarakan Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Sabtu (27/6).

Para pembicara dalam Webinar ini adalah Prof. Jimly Asshiddiqie, Maneger Nasution dan JJ Rizal. Diskusi dihadiri lebih dari 80 orang yang terdiri akademisi dan peneliti dari berbagai lembaga seperti UIN Imam Bonjol Padang, UMSB Sumatera Barat, STAIDA Payakumbuh dan Simak Institute (Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan).

Dalam pengantarnya sebagai moderator dan pemantik diskusi,  Wakil Ketua PSBH Budi Johan menyampaikan, meski Buya Hamka lebih dikenal sebagai ulama dan penulis buku-buku keislaman, namun beliau juga punya ide dan pemikiran tentang Pancasila yang tertuang dalam buku berjudul Akar Tunggang Pancasila.

'Yang menjadi soko guru atau akar tunggang dari Pancasila tersebut adalah prinsip Ketuhanan. Ide yang kemudian tertuang sebagai sila pertama Pancasila. Itulah yang kemudian menjadi dasar bagi pijakan dan prinsip gerak untuk sila-sila yang lain," kata Johan berdasarkan rilisnya, Ahad (28/6).

Prof. Jimly Asshiddiqie menjadi pembicara pertama diskusi via aplikasi zoom ini mengungkapkan, munculnya reaksi dari  masyarakat terhadap RUU HIP tersebut merupakan akibat dilupakannya peristiwa 1 Juni  1945 selama 32 tahun oleh pemerintahan Orde Baru.

Saat dimana pada hari itu  di depan anggota PPKI, Soekarno berbicara panjang lebar tentang dasar negara dan falsafah yang melingkupi, namun selama presiden Soeharto berkuasa, moment tersebut dikerdilkan atau dianggap tak punya dampak terhadap sejarah jelang proklamasi kemerdekaan.

Maka saat keturunannya berada di lingkaran pusat kekuasaan, upaya mengembalikan peristiwa itu pada porsinya. Hal tersebut sangat wajar, karena Soekarno memang punya andil besar.

Namun, masyarakat juga harus diingatkan bahwa proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara juga harus menyertakan peristiwa tanggal 22 Juni 1945, saat mana ketika rumusan dasar negara, mengalami sejumlah perobahan, dengan pencoretan tujuh kata yang semula tercantum dalam pembukaan UUD 45 itu.

“Pidato 1 Juni itu di abaikan selama masa Orde Baru. Tapi peristiwa 22 juni jangan juga diabaikan”, ujar Jimly.

Pada 1 Juni, menurut Jimly, harus ditempatkan secara proporsional, karena pidato 1 Juni adalah pidato pribadi Bung Karno. Sementara peristiwa 22 juni adalah hasil kesepakatan bersama anggota badan perumus yang juga diketuai oleh Bung Karno.

Ditegaskan Jimly, perbedaan pendapat tentang Pancasila sudah selesai. Semua telah sepakat dengan pancasila yang ada sekarang. Umat Islam juga sudah menerima Pancasila meskipun kewajiban menjalankan syariat dihapus.

"Oleh sebab itu, jangan lagi Pancasila diotak-atik dan dikembalikan pada perdebatan awal," tegas anggota DPD RI tersebut.

Terkait dengan pandangan Hamka, Jimly mengatakan bahwa menurut Buya Hamka, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama dan sila pokok yang menyinari sila yang lain. Dalam khutbahnya Hamka menyebut bahwa Pancasila ibarat angka 10.000.

Empat nol di belakang angka tidak akan ada maknanya tanpa ada angka satu di depan. Maksudnya adalah bahwa sila-sila yang dalam dalam Pancasila tidak akan ada artinya bila tidak didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu, Maneger Nasution yang jadi pembicara kedua mengatakan Buya Hamka, memahami sila kedua, tiga, empat dan lima harus dirujuk pada sila pertama, yakni ketuhanan Yang Maha Esa. "Dengan demikian cara membaca Pancasila menurut Buya Hamka adalah kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan, persatuan Indonesia berdasarkan ketuhanan," kata Maneger.

Sejarawan JJ Rizal mengatakan Buya Hamka pernah menggugat penulisan sejarah nasional. Hamka mempertanyakan posisi umat Islam dalam sejarah Indonesia.

Bagi Hamka, sejarah Indonesia merupakan sejarah Islam sentris. Sejarah umat Islam Indonesia merupakan bagian sejarah umat Islam dunia.

Oleh karena itu, umat Islam perlu jelas kedudukannya dalam sejarah. Karena Pancasila akan menjadi dasar negara, dimana sumbangsih umat Islam sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia, maka pemaknaan pancasila itu harus dipulangkan pada Islam.

"Terlebih, Pancasila itu hidup dalam kata merdeka. Kata merdeka itu adalah kata yang lekat dengan Islam dan takbir dalam shalat," kata JJ Rizal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement