REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Pahala melaksanakan ibadah haji adalah surga. Nabi SAW mengabarkan, “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Haji mabrur adalah haji yang diterima (maqbul). Ciri peraih haji mabrur adalah selalu menebar kebaikan dan perbaikan sepulang melaksanakan ibadah haji.
Secara etimologi haji itu berarti menuju. Sedang secara terminologi, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, haji adalah pergi ke Tanah Suci untuk berziarah dengan cara khusus. Syaratnya, kata Syaikh Abu Syuja’ dalam Matan Taqrib adalah Islam, baligh, berakal, merdeka, ada bekal dan kendaraan, aman dan mampu melakukan perjalanan.
Untuk memperoleh haji mabrur tampaknya diperlukan sejumlah kesanggupan (istitha’ah). Allah SWT mengindiskasikan hal ini, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran/3: 97). Kesanggupan, menurut pengarang Tasfir Jalalain, adalah memiliki perbekalan dan kendaraan.
Namun perbekalan dan kendaraan ini saja dipandang belum cukup, diperlukan kondisi badan yang fit dan prima baik dalam perjalanan, semasa melaksanakan ibadah haji, maupun saat kembali ke tanah air. Karena itu, ibadah haji sebaiknya dilaksanakan selagi berusia muda agar dapat leluasa melaksanakan seluruh rangkaian rukun dan kewajiban haji secara paripurna.
Tidak seperti ibadah puasa, shalat, dan zakat, ibadah haji adalah gabungan ibadah hati, badan, dan harta karena memerlukan biaya mahal. Oleh karena itu, melaksanakan ibadah haji bagi orang yang berusia muda tampaknya lebih mudah ketimbang orang yang berusia tua. Untuk itu menabung agar bisa beribadah haji selagi muda harus menjadi prioritas.
Beribadah haji selagi muda tidak hanya berefek positif bagi kehidupan pribadi, tapi juga kehidupan sosial. Para haji muda diharapkan berperan aktif di dalam kehidupan masyarakat sebagai role model dan agen perubahan. Harus ada yang menghapus stigma bahwa seorang haji itu adalah orang tua yang lemah secara fisik dan hanya menjalin ibadah vertikal ke langit.
Nabi SAW menganalogikan pahala haji mabrur setara dengan jihad, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling utama. Apakah berarti kami harus berjihad?” Nabi SAW menjawab, “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari). Jihad dengan demikian identik dengan usia yang masih muda dan gagah berani.
Haji adalah pralambang kehidupan setelah kematian. Oleh karena itu beribadah haji seperti pelaksanaan furgatorio (proses pemurnian) menuju paradiso (surga). Nabi SAW bersabda, “Barangsiap berhaji ke Baitullah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat fasik maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari).
Jadi sosok peraih haji mabrur secara ideal adalah berusia muda, saleh ritual dan sosial, dan suci. Peraih haji mabrur ini diharapkan mampu merevivalisasi Islam dan masyarakat muslim. Seperti ungkapan Bung Karno, “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.”
Untuk itu mari kita gelorakan ajakan beribadah haji ini seperti halnya dilakukan oleh Nabi Ibrahim ribuan tahun silam yang diabadikan Alquran. “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. al-Hajj/22: 27).
Ayat ini lagi-lagi meniscayakan beribadah haji itu dilaksanakan selagi masih muda agar mampu berjalan kaki, mampu berada di dalam kendaraan selama berjam-jam, dan mampu berdesak-desakan dengan saudara sesama muslim yang datang dari negeri yang jauh. Insya Allah “pahala sosial” melakukan ibadah haji di usia muda lebih besar.