REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Penjualan ritel di Jepang jatuh dengan kecepatan dua digit untuk dua bulan berturut-turut pada Mei. Pandemi dan kebijakan lockdown oleh pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19 memberikan pukulan berat bagi kepercayaan konsumen.
Penurunan permintaan berkelanjutan menimbulkan risiko ekonomi terbesar ketiga di dunia tersebut dapat terperosok lebih lama dibandingkan yang diperkirakan. Pemulihan pun diprediksi berjalan lebih lambat.
Seperti dilansir Reuters, Senin (29/6), penjualan ritel turun 12,3 persen pada Mei dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Penyusutan dikarenakan penurunan belanja terhadap barang-barang bernilai besar seperti mobil, pakaian dan barang umum, merujuk pada data Kementerian Perdagangan, Senin.
Penurunan ini mengikuti tren penyusutan 13,9 persen pada April 2020. Kontraksi mendalam pada April menjadi penurunan terbesar sejak Maret 1998 dan lebih buruk dari proyeksi para ekonom dalam jajak pendapat Reuters, yakni 11,6 persen.
Pembuat kebijakan berharap, rebound terhadap pengeluaran swasta akan membantu mendukung pertumbuhan di tengah ketidakpastian prospek permintaan global yang mengancam pemulihan. Belanja swasta diketahui telah menyumbang lebih dari setengah ekonomi.
Beberapa analis mengatakan, pembayaran tunai 100 ribu yen (933 dolar AS) per warga negara dalam menanggapi pandemi ini dapat memicu serangan 'belanja balas dendam' menyusul pencabutan keadaan darurat pada Mei. Selain itu, semakin banyak orang terbiasa dengan langkah social distancing yang tetap diberlakukan di daerah ramai.
Tapi, bantuan tersebut tidak berjalan merata. Midori, seorang pekerja berusia 29 tahun di sebuah perusahaan alat listrik, mengatakan, hanya satu dari teman-temannya yang telah menerima pembayaran pemerintah sejauh ini.
"Saya pikir, konsumsi akan menurun dibandingkan sebelum wabah virus corona," katanya pada Sabtu (27/6), ketika akan berbelanja di Yokohama.
Ekonomi Jepang diperkirakan mengalami kontraksi lebih dari 20 persen secara tahunan pada kuartal kedua. Ini menjadi penurunan kuartal ketiga berturut-turut mengingat aktivitas bisnis terkena langkah-langkah pembatasan aktivitas hingga lockdown dari April hingga akhir Mei.
Sejumlah analis menilai, tahun ini, konsumen akan menabung lebih banyak dan mengeluarkan uang lebih sedikit seiring lebih banyak orang bekerja dari rumah. Proyeksi ini seiring dengan ketakutan terhadap prospek ekonomi yang masih dirundung ketidakpastian setelah Covid-19 dan kenaikan pajak nasional pada Oktober tahun lalu.