REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Islam, Syafi’i Antonio, mengatakan, terdapat beberapa hal yang dapat dikaji dari kasus dukungan Unilever pada LGBT dan ancaman boikot yang timbul setelahnya. Pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tazkia ini mengatakan, LGBT adalah suatu kelainan dan tidak bisa diterima oleh semua agama.
“Jadi, LGBT adalah bentuk kelainan dan mereka didukung karena sebagian pemegang saham di perusahaan multinasional itu ada yang simpati atau bahkan sebagai salah satu pelakunya,” kata Syafi’i Antonio kepada Republika, Senin (29/6).
Berkembangnya Unilever sebagai perusahaan multinasional terbesar di Indonesia, menurut dia, diakibatkan kurangnya kreativitas bangsa untuk mandiri secara ekonomi. Menurut dia, sebagai bangsa yang besar, Indonesia seharusnya mampu memproduksi produk sendiri yang mendominasi pasar lokal.
“Sesungguhnya ini karena kreativitas bangsa Indonesia yang kurang. Seharusnya kita sebagai bangsa yang besar mampu untuk berdiri dengan kaki sendiri, memproduksi barang sendiri dengan brand kita sendiri,” ujarnya.
Sebagai perusahaan multinasional, menurut Syafi'i, manajemen Unilever, baik di Indonesia maupun negara mana pun, tentu akan diatur langsung oleh kantor pusat mereka di Amsterdam. Dia beranggapan, jika Unilever tidak dapat memahami kearifan lokal Indonesia, hal yang perlu dilakukan adalah membeli sebagian besar saham Unilever.
“Kalau memang Unilever tidak bisa memahami bagaimana kearifan lokal, ya tugas kita adalah membeli saham Unilever, kemudian mengganti jajaran eksekutifnya sehingga seluruhnya pasti berganti,” ujarnya.
“Ini jadi dari masalah ekonomi berujung pada masalah sikap, adab, norma, dan etika,” kata anggota Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) ini menambahkan.
Terkait karyawan Muslim yang telanjur bekerja di Unilever, Syafi’i menyarankan agar mereka dialihkerjakan di perusahaan sejenis yang tidak berseberangan dengan kaidah Islam. “Dari sisi karyawan, saya rasa itu bisa diselesaikan kalau kita punya produsen yang sejenis yang bisa mempekerjakan saudara-saudara kita,” kata dia.
Menurut Syafi’i, persoalan ini sejatinya bermula dari masalah ekonomi, tetapi akan berujung pada nilai etika dan moralitas. Tindakan Unilever ini, menurut Syafi’i, tidak akan berubah jika masyarakat tidak bertindak tegas.
Dia mengingatkan, konsumen sebenarnya memiliki kekuatan untuk memilih produk yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan nilai yang dianutnya. Syafi’i juga menyarankan agar masyarakat mulai beralih pada produk lokal.
“Jadi, langkah pertama adalah kita setop membeli, lalu beli saham mereka, dan insya Allah sikap mereka terhadap LGBT akan berubah,” ucap Syafi’i.