REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Komunitas Muslim di Selandia Baru menyerukan agar wawancara dengan pelaku penyerangan di dua masjid di Christchurch pada 2019 lalu dipublikasikan secara luas. Komisi penyelidikan telah mengumumkan pada Ahad mereka telah berbicara dengan sang pelaku penembakan, Brenton Tarrant, sebagai bagian dari penyelidikannya.
Komisi penyelidikan ini dibentuk oleh Perdana Menteri Selandia Baru untuk menangani kasus serangan terhadap masjid di Christchurch pada 2019. Komunitas Muslim mengatakan mereka dan keluarga para korban berhak mengetahui apa yang pelaku katakan dalam wawancara.
Aya Ul-Umari, salah satunya, masih mendapat dorongan untuk menandai saudara lelakinya, Hussein Al-Umari, di media sosial atau memanggilnya untuk berbicara. Ia masih merasa saudaranya itu masih ada.
"Itu tidak mudah, terutama untuk ibuku. Mengubur seorang putra sebelum seorang ibu bukanlah sesuatu yang berjalan secara alami," ungkap Aya, dilansir di RNZ News, Senin (29/6).
Hussein berusia 35 tahun ketika ia tewas dalam insiden serangan penembakan di masjid Al Noor pada 15 Maret 2019. Sementara itu, sang pelaku setelah mengaku bersalah tidak akan pernah menghadapi persidangan.
Aya mengatakan keluarganya mengandalkan laporan dari Komisi Penyelidikan yang bertugas mencari jawaban terkait serangan tersebut. Aya mengungkapkan benar-benar ingin mengetahui apa motif pelaku pembunuhan tersebut.
"Dari kami sebagai keluarga kami benar-benar ingin tahu jawaban. Kami ingin tahu mengapa, apa yang terjadi. Saya pribadi mengharapkan laporan Komisi Penyelidikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini," ujarnya.
Pemerintah telah mengarahkan komisi penyelidikan untuk menginvestigasi kegiatan sang pelaku menjelang serangan yang dilakukannya pada 15 Maret 2019. Namun, komisi ini menolak diwawancarai untuk cerita tersebut.
Akan tetapi dalam sebuah pernyataan, Ketua Komisi Penyelidikan Hakim Agung Sir William Young mengatakan telah berbicara kepada pria bersenjata tersebut untuk membantu menjelaskan sejumlah ketidakpastian. Hal itu juga merupakan bagian dari prinsip keadilan alami, yang memberikan hak untuk menjawab kepada siapa pun yang disebutkan dalam penyelidikan pemerintah.
Komisaris Jacqui Caine mengatakan, hal itu adalah keputusan yang dipertimbangkan dengan hati-hati yang didorong oleh kebutuhan mengamati keadilan secara alami dan mencapai tujuan akhir untuk memberikan jawaban dalam laporan akhir.
"Kami telah memberikan komitmen kepada publik bahwa kami tidak akan meninggalkan kebutuhan bisnis yang terlewat dan mewawancarai individu tersebut adalah cara lain yang kami upayakan untuk memenuhi komitmen itu," katanya.
Sementara itu, laporan akhir disebut akan dipublikasikan. Kendati begitu, dipahami bahwa keputusan belum dibuat apakah transkrip wawancara lengkap akan dimasukkan atau tidak.
Presiden Asosiasi Muslim Selandia Baru, Ikhlaq Kashkari, mengatakan perincian pertanyaan itu memang akan membuat sedih masyarakat, tetapi hal itu menurutnya perlu. "Akan menyenangkan untuk mendapatkan naskah lengkap tentang berlangsungnya wawancara dan pertanyaan apa yang diajukan dan jawaban apa yang diberikan," kata Kashkari.
Kashkari, yang juga anggota kelompok referensi Muslim untuk komisi tersebut, mengatakan pergi ke pengadilan akan menyediakan lebih banyak peluang untuk pertanyaan yang akan diajukan. Karena sang pelaku merasa bersalah, pihaknya merasa perlu agar wartawan bisa menggali lebih dalam tentang motif pelaku. Namun dengan tidak adanya persidangan, ia khawatir minat tersebut hilang.
Anjum Rahman, dari Dewan Wanita Islam Selandia Baru, mengatakan dia akan menekan pemerintah untuk merilis serinci mungkin secara publik atas proses berlangsungnya wawancara dengan pelaku. Menurutnya, orang-orang benar-benar ingin memastikan insiden serangan seperti tahun lalu tidak pernah terjadi lagi. Karena itu, ia mendorong pemerintah mempublikasikannya secara luas.
"Untuk penyembuhan negara dan untuk penyembuhan komunitas kami juga, kami perlu melihat semua informasi dan sebanyak apa yang mereka peroleh dalam wawancara ini yang dapat mereka masukkan ke dalam laporan. Naskah wawancara itu perlu dibagikan dengan publik yang lebih luas," ungkap Rahman.
Sang pelaku, Tarrant, tengah menanti hukuman untuk kasus pembunuhan terhadap 51 orang dan percobaan pembunuhan atas 40 orang lainnya, dalam serangan di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood pada 15 Maret 2019. Hukumannya tertunda karena pandemi Covid-19 dan belum ditentukan tanggal kapan ia akan menjalani hukuman tersebut. Sementara itu, laporan dari Komisi Penyelidikan akan rampung pada akhir Juli.