REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Ali Mansur, Antara
Dalam sambutannya pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Kamis (18/6), presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme extraordinary dalam penanganan Covid-19. Suasana sidang kabinet yang berlangsung tertutup dan tidak bisa diliput media itu baru diketahui publik setelah pada Ahad (28/6) pihak Sekretariat Presiden mengunggah video sambutan Presiden Jokowi tersebut.
Dalam pidatonya, Jokowi terlihat jengkel dan marah. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang 'tak normal' sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.
Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,35 persen yang sudah terserap.
"Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya, enggak ada progres yang signifikan. Langkah apapun yang extra ordinary akan saya lakukan. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya," ujar Presiden Jokowi.
Pakar bahasa tubuh dan mikroekspresi, Monica Kumalasari menganalisis bahasa tubuh Presiden Jokowi dalam pidato Sidang Kabinet itu. Menurut Monica, Jokowi bicara secara spontan tanpa teks selain mungkin catatan berisi poin-poin catatan pribadinya.
"Akan mengekspresikan perasaan seseorang secara lebih genuine," kata Monica di Jakarta, Senin (29/6).
Monica menganalisis gestur Jokowi berdasarkan lima kanal, yakni raut wajah, bahasa tubuh, suara, gaya verbal dan konten. Dari ekspresi wajah yang bersifat universal, Monica menganalisis raut presiden sepanjang pembicaraan memperlihatkan banyak kesedihan yang terlihat dari gerakan alis dan bibirnya.
"Kemudian juga ada fear, rasa takut, kemudian yang paling dominan mengenai emosi marah," kata dia.
Emosi marah, kata Monica, sangat terlihat di awal meski presiden mencoba tetap tenang. Emosi itu terlihat dari bibir yang terlipat dan alis matanya.
Ekspresi itu jelas terlihat saat presiden mengatakan "Ini sudah tiga bulan ke belakang dan bagaimana tiga bulan ke depan", "Tidak ada progres secara signifikan" juga "Ini saya pertaruhkan reputasi politik saya".
"Di awal-awal ini Pak Jokowi juga banyak mengatakan bahwa 'Kita memiliki perasaan yang sama', itu lebih dari empat kali dikatakan seperti itu. Saya menganalisa bahwa ini cara beliau mengatakan 'Hei kenapa para menteri ini tidak berempati'."
Monica juga melihat ada ekspresi merendahkan yang sejalan dengan frasa, "Kita harus memiliki perasaan yang sama" yang diucapkan berulang-ulang. Presiden terlihat geram karena para menteri tidak memiliki empati yang sama.
Dari bahasa tubuh, Jokowi menekankan apa yang ia katakan lewat gerakan. Ada gerakan-gerakan menunjuk dan menekan untuk menggarisbawahi apa yang ia ucapkan.
"Ada punctuation, seperti 'Saya menggarisbawahi', saya juga melihat bahasa tubuhnya ada seperti memukul podium, walau tidak secara harafiah memukul, tapi ada gerakan tangan yang sampai kayak gemetar, yang mendukung kata-kata yang dikatakan oleh beliau."
Dalam hal suara, menurut Monica, ada suara yang lebih rendah dan pelan, menunjukkan rasa kesedihan dan tidak yakin. Juga ada pitch suara yang meninggi seperti sudah berteriak yang menunjukkan kemarahan memuncak.
Sedangkan dari sisi gaya verbal, Jokowi banyak mengulang kata "krisis", "267 juta rakyat", "Biasa-biasa saja" dan "Extraordinary".
"Dalam kata ini menunjukkan analisis bahwa ini kondisinya tidak biasa tapi 'kenapa Anda semua para menteri menganggap ini suasananya normal dan biasa saja'," kata Monica.
Sementara dari sisi konten keseluruhan, ada jeda sepuluh hari dari pelaksanaan sidang hingga diunggahnya video yang mengatakan Jokowi mungkin akan melakukan reshuffle atau membubarkan lembaga. Di mana, departemen yang banyak disinggung adalah kesehatan serta ekonomi.
"Saya menganalisis bahwa dalam waktu sepuluh hari, kemudian baru dirilis, analisis saya adalah bahwa benar bahwa beliau akan melakukan hal ini," katanya.
"Dan kemarin minggu sore sudah dinyatakan, jadi konten secara keseluruhan adalah ini adalah pengantar bahwa beliau akan mengeluarkan kebiakan-kebijakan yang baru atau melakukan reshuffle maupun membubarkan lembaga," kata dia.
Adapun, pengamat komunikasi politik dari Telkom University, Dedi Kurnia menilai pilihan reshuffle sebenarnya dilema bagi Jokowi. Seolah-olah, kata Dedi, Jokowi mengaku dua hal.
"Pertama, gagal mengkoordinasi kementerian yang sejak awal terlalu dibanggakan, baik formasi maupun tokoh-tokoh terpilih," ujar Dedi saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/6).
Dedi melanjutkan, kedua ada sikap jemawa dari para menteri yang merasa dipilih. Karena berjasa dalam pemenangan, atau merasa dekat dengan lingkaran Jokowi secara politis, dua hal ini memicu lambannya kinerja.
Sehingga, kata Dedi kerja kabinet tidak terstruktur dan berjalan sendiri. Barangkali pesan Jokowi kala memulai periode kedua dengan tidak ada visi misi menteri atau sama sekali tidak didengar para menteri itu sendiri. Meskipun, kerja pemerintah seharusnya kolektif, produktif atau tidaknya bergantung presiden.
"Kekecewaan presiden pada menteri, sama saja kecewa pada diri sendiri," tegas Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) tersebut.
Menurut Dedi, para menteri harus mengemukakan prestasi, sekurang-kurangnya meyakinkan Presiden jika rencana-rencana strategis kementerian segera tercapai paling tidak sebelum Agustus. Prestasi para menteri sebenarnya sederhana, yakni menjalankan kebijakan dengan imbas pada publik dan negara.
"Kementerian yang hanya habiskan waktu kunjungan dan pidato, ada baiknya mulai berkemas," tutur Dedi.
Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden RI Bey Triadi Machmudin saat dikonfirmasi, Ahad (28/6), mengatakan awalnya Sidang Kabinet Paripurna tersebut bersifat intern.
"Namun setelah kami pelajari pernyataan Presiden, banyak hal yang baik, dan bagus untuk diketahui publik, sehingga kami meminta izin kepada Bapak Presiden untuk mempublikasikannya. Makanya baru di-publish hari ini (kemarin)," kata Bey.