REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk menangani bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) apabila mengalami gagal bayar. Hal ini berkaitan dengan fungsi bank BUMN sebagai peserta program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari dampak Covid-19.
Berbeda dengan bank lainnya, Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah, mengatakan bank BUMN tidak memiliki pilihan likuiditas apabila terjadi gagal bayar. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020, LPS diminta untuk mengutamakan pengembalian dana pemerintah yang ditempatkan pada bank peserta dalam bentuk simpanan.
"Mengingat besarnya peran bank BUMN dalam perekonomian, upaya yang dapat dilakukan yaitu melakukan penanam modal sementara. Dengan demikian tidak ada unsur terjadinya kerugian bagi uang negara yang ditempatkan di bank tersebut," kata Halim di Jakarta, Senin (29/6).
Sebelum sampai pada tahapan tersebut, Halim menjelaskan, LPS telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi. LPS dapat melakukan langkah antisipasi baik dalam bentuk pemeriksaan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kondisi bank serta menyiapkan dana apabila LPS diperkirakan akan menangani bank tersebut sebagai bank gagal.
LPS juga berwenang mengambil sejumlah langkah apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas ketika menangani bank tersebut. Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 2 Tahun 2020, LPS diberikan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah penjualan atau Repo Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki LPS kepada Bank Indonesia.
Selain itu, LPS juga berwenang untuk menerbitkan surat utang, melakukan pinjaman kepada pihak lain hingga meminta pinjaman kepada pemerintah. Halim mengatakan, saat ini LPS sedang mempersiapkan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut sekaligus mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah terkait dengan sejumlah kewenangan itu.
Sejauh ini, LPS telah melakukan proses likuidasi terhadap 102 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 bank umum dengan biaya pembayaran Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 1,95 triliun serta biaya resolusi mencapai Rp 1,24 triliun. Adapun biaya resolusi untuk bank umum sebesar Rp 3,6 triliun.