REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dan ahli kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Roy Valiant Salomo mengatakan pengambilan secara paksa jenazah Covid-19 oleh pihak keluarga terjadi akibat kurangnya sosialisasi mendalam kepada masyarakat, terutama anggota keluarga pasien. Sejatinya keluarga diberikan sosialisasi sejak awal.
"Seharusnya ketika pasien Covid-19 pertama kali masuk rumah sakit, anggota keluarganya sudah diberikan sosialisasi dan pemahaman terkait bahaya penyakit ini," katanya di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan sosialisasi secara umum mungkin saja sudah dilakukan oleh tenaga medis atau pihak rumah sakit. Namun, pemahaman secara khusus atau lebih rinci kepada setiap anggota keluarga pasien mungkin belum dilakukan dengan optimal.
Sosialisasi mendalam tersebut dapat dilakukan atau disampaikan dengan cara mengundang perwakilan anggota keluarga pasien ke rumah sakit untuk diberikan pemahaman tentang bahaya atau ancaman Covid-19 jika tertular ke orang lain.
"Bisa dengan cara pemutaran film tentang bahayanya penyakit ini," katanya.
Menurut dia, apabila sosialisasi secara detail atau khusus itu dilakukan maka setiap anggota keluarga akan menyadari betapa bahayanya penyakit tersebut apabila tertular ke orang lain. Sehingga tidak ada lagi pengambilan paksa jenazah Covid-19.
Roy yang juga merupakan pengajar di UI tersebut mengatakan sosialisasi secara mendalam itulah hingga kini belum diterapkan oleh rumah sakit. Akibatnya, ada anggota keluarga pasien COVID-19 yang nekat membawanya.
Menanggapi adanya kejadian pengambilan paksa pasien Covid-19, ia menyarankan pemerintah segera menginstruksikan setiap rumah sakit untuk membuat aturan supaya anggota keluarga pasien diundang dan diberikan pemahaman lebih lanjut. "Jadi intinya jika pasien ini meninggal anggota keluarga tidak boleh mengambilnya," kata Roy Valiant Salomo.
Kepercayaan publik
Pandangan berbeda diutarakan oleh Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto. Ia menyatakan bahwa pengambilan paksa jenazah COVID-19 terjadi bukan karena kurangnya sosialisasi melainkan kepercayaan publik yang telah memudar. "Kalau menurut saya ini bukan soal sosialisasi tetapi soal ketidakpercayaan yang memudar," katanya.
Ia mengatakan komunikasi berbasis komunitas diperlukan dan bukan sekadar dilakukan di pusat tetapi juga di setiap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di daerah. Ini karena pengambilan paksa pasien Covid-19 sangat berbahaya.
Gejala tersebut mengindikasikan adanya problem serius kepercayaan publik pada proses penanganan yang selama ini diupayakan pemerintah, demikian Gun Gun Heryanto.