REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berbohong dalam Islam tentu saja dilarang. Selain tindakan tersebut merupakan hal yang tercela, dampak dari perbuatan itu pun juga ada. Apalagi, jika seseorang berbohong atas nama Nabi, tentu terdapat konsekuensi hukumnya tersendiri di sisi Allah.
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadis shahih berbunyi: “Man kadzaba alayya muta’ammidan falyatabawa’ maq’adahu minannari,”. Yang artinya: “Barangsiapa berdusta atas diriku secara sengaja, hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka,”.
Dalam ilmu hadits, berbohong atas dengan menyandarkan kebohongannya kepada Rasulullah disebut sebagai hadis palsu (al hadits maudhu). Maka di dalam ilmu hadis pun terdapat berbagai sistem yang digunakan untuk menguji otensitas sebuah hadits.
Dengan adanya hadits Nabi tentang ancaman bagi orang yang berbohong dengan menyandarkan beliau itulah, Ahmad Amin dalam kitabnya berjudul Fajr Al-Islam mengemukakan bahwa pemalsuan hadis disinyalir telah ada di zaman Nabi. Untuk itu, segala upaya para ulama hadis untuk ‘memelihara’ hadis melalui sistem yang ketat pun dijalankan.