REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai Presiden Joko Widodo sebaiknya tidak perlu lagi mengungkap ketidakpuasan atas kinerja menterinya di masa mendatang. Alih-alih marah, Adi menilai Jokowi memiliki kuasa untuk langsung mengganti menterinya yang dianggap tidak kompeten dalam bekerja.
"Bukan hanya bisa saja, Jokowi sangat otoritatif me-reshuffle kabinetnya tanpa kompromi. Siapapun yang dinilai tak memuaskan, ya dievaluasi dan diganti. Tak perlu lagi marah, langsung ganti saja," ujar Adi melalui pesan singkatnya, Senin (29/6).
Ia menilai, pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para menteri. Sebab, krisis pandemi Covid-19 menjadi ajang pembuktian menteri dapat bekerja dengan ritme yang tidak biasa.
"Akan keliatan siapa menteri yang bisa bermanuver atau tidak di tengah kesulitan. Karena Jokowi butuh menteri yang 'tak biasa' dengan kerja extraordinary," ujar Adi.
Kendati demikian, ia menilai video kemarahan Jokowi yang diunggah Sekretariat Presiden itu sebagai bentuk ultimatum kepada para menterinya. "Kemarahan Jokowi itu bentuk ultimatum untuk perbaiki kinerja. Kalau tak kunjung membaik tentu layak reshuffle," ujarnya.
Presiden Jokowi mulai mewacanakan kemungkinan reshuffle atau perombakan kabinet kepada menteri-menteri yang dianggap tidak bisa bekerja cepat dan 'extraordinary' dalam penanganan pandemi Covid-19. Tak hanya merombak kabinet, Jokowi juga menyatakan kemungkinan adanya pembubaran lembaga.
Pernyataan Jokowi soal perombakan kabinet ini disampaikan dalam sambutan Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Kamis (18/6) lalu yang berlangsung tertutup dan tidak bisa diliput media. Baru pada Ahad (28/6) petang, video sambutan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet tersebut diunggah pihak Istana Kepresidenan di media sosial.
Dalam sambutannya, presiden kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme 'extraordinary' dalam penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang 'tak normal' sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.
Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,53 persen yang sudah terserap.