Senin 29 Jun 2020 21:14 WIB

Perawat Desak Pemerintah Segera Tepati Janji Insentif

Jika masalah berlarut, dikhawatirkan bisa menurunkan motivasi perawat saat bekerja.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP-PPNI), Harif Fadhillah
Foto: Republika/Muhyiddin
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP-PPNI), Harif Fadhillah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat baru 10 hingga 20 persen dari sekitar 120 ribu perawat di Tanah Air yang menangani virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) yang telah menerima pencairan insentif. Padahal, di masa sulit seperti pandemi saat ini, pencairan insentif sangat dibutuhkan.

Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah mendesak pemerintah untuk segera menepati janji pemberian insentif karena ini terkait moralitas, apalagi saat kondisi sulit seperti sekarang. Ia meminta pemerintah seharusnya mengerti. Jika masalah ini berlarut, pihaknya khawatir ini bisa menurunkan motivasi perawat saat bekerja.

Dia menegaskan, meski perawat biasa tidak mendapatkan insentif saat bencana, tetapi ini masalah janji. "Ini yang harus dijaga. Perlu ketegaran dan empati yang tinggi dalam menghadapi kondisi sekarang," katanya saat dihubungi Republika,  Senin (29/6).

Dia melanjutkan, mengutip data evaluasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa yang seharusnya tenaga kesehatan perawat yang berhak mendapatkan insentif sekitar 120 ribu orang. Tetapi dari 800 lebih fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang menangani Covid-19, ternyata baru 44 persen yang mengusulkan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan.

"Jadi 54 persen rumah sakit (RS) sisanya belum mengusulkan (ke pemerintah pusat) dan bagaimana mau dicairkan (insentifnya). Jadi yang terlambat itu dari fasilitas kesehatannya dan akhirnya perawat yang mendapatkan pencairan insentif saat ini baru 10 sampai 20 persen (dari 120 ribu perawat)," ujar Harif.

Padahal, kata dia, dalam kondisi sulit seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti sekarang, para perawat ini membutuhkan uang di antaranya untuk bekerja karena harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tinggi. Pencairan insentif ini sangat bermanfaat untuk menyambung kehidupan. Ia menambahkan, kabar pencairan insentif ini tentu menjadi kabar baik meski awalnya pihaknya tidak memikirkannya.

"Apalagi awalnya ini kami dijanjikan bahkan dipublikasi dan akhirnya kami semua berharap. Padahal tidak semua perawat mendapatkannya, hanya perawat yang bekerja di RS rujukan, RS darurat, RS yang ditunjuk Kemenkes maupun gubernur, jadi ada sekitar 800-an RS yang katanya mendapatkan insentif, sementara RS lain yang tidak ditunjuk gubernur maupun Kemenkes itu belum jelas (nasibnya), padahal mereka juga menangani Covid-19," ujarnya.

Karena itu, pihaknya mendesak pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga harus benar dalam bertindak dan memiliki kepekaan. Artinya, dia melanjutkan, tenaga kesehatan ini merupakan pegawai di faskes itu, jadi seharusnya pimpinan instansi tempat nakes ini bekerja yang pro aktif, bukan menunggu perintah.

 

Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara pada Kamis (18/6), presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme extraordinary dalam penanganan Covid-19. Suasana sidang kabinet yang berlangsung tertutup dan tidak bisa diliput media itu baru diketahui publik setelah pada Ahad (28/6) pihak Sekretariat Presiden mengunggah video sambutan Presiden Jokowi tersebut.

Dalam pidatonya, Jokowi terlihat jengkel dan marah. Padahal, menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang ‘tak normal’ sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.

Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,35 persen yang sudah terserap.

“Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya, enggak ada progres yang signifikan. Langkah apapun yang extra ordinary akan saya lakukan. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya,” ujar presiden.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement