REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) menyebut penggalian kapasitas calon hakim agung saat seleksi justru kurang relevan. Sebab, penggalian dilakukan dengan menguraikan pasal-pasal tertentu yang sifatnya hafalan.
"Ini memang dalam pandangan kami penting, tapi kemampuan menghafal pasal ini tidak menjamin yang bersangkutan memiliki kapasitas untuk menerapkan bunyi pasal tertentu secara adil dan berkepastian hukum," ujar Ketua Mappi Muhammad Rizaldi dalam sidang pengujian UU Mahkamah Agung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (29/6).
Menurut Rizaldi, salah satu kualitas utama yang dicari dari calon hakim agung adalah kemampuan untuk memeriksa perkara dari sisi penerapan hukum dan cara mengadili, bukan lagi mengenai fakta hukum dalam suatu perkara. Calon hakim agung, kata dia, harus memahami perbedaan antara peran hakim dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding dengan peran hakim pada tingkat kasasi atau judex juris.
Terkait kompetensi, Mappi menilai hakim agung merupakan posisi yang sangat penting dan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu, hakim agung harus diisi individu yang memiliki pemahaman matang terhadap tugas hakim dalam menciptakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Selain aspek kompetensi, calon hakim agung disebutnya juga harus memiliki rekam jejak yang bersih, terkait upaya untuk menunjukkan calon hakim merupakan individu yang berintegritas.
Adapun, pemohon perseorangan bernama Aristides Verissimo de Sousa Mota mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pemohon keberatan masa jabatan hakim agung tidak diperiodisasi.
Ia ingin masa jabatan hakim agung dibatasi lima tahun dan dapat dipilih kembali pada periode kedua, sehingga masa jabatan hakim agung maksimal 10 tahun, seperti presiden dan wakil presiden.