REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Sebanyak 122 anak, termasuk anak berusia satu tahun terbunuh selama kampanye "perang melawan narkoba" yang digaungkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte sejak 2016. Dalam sebuah laporan beberapa anak bahkan dengan sengaja ditembak dan dijadikan sasaran proksi.
Laporan dari World Organisation Against Torture menambah seruan yang semakin besar bagi dewan HAM PBB untuk membentuk penyelidikan independen terhadap pelanggaran yang dilakukan di bawah kampanye Duterte itu. Dilansir laman Guardian, kelompok HAM memperkirakan bahwa puluhan ribu orang terbunuh akibat pembunuhan di luar hukum selama operasi anti-narkoba yang diluncurkan setelah pemilihan presiden Duterte pada 2016.
Laporan tersebut meneliti kematian anak-anak antara Juli 2016 dan Desember 2019. Dalam laporannya memuat bahwa polisi bertanggung jawab atas lebih dari setengah pembunuhan yang didokumentasikan. Sementara yang lain melibatkan orang-orang yang tidak dikenal, sering memakai topeng atau tudung, beberapa di antaranya diduga memiliki hubungan dengan polisi.
Berdasarkan laporan tersebut, beberapa anak sengaja dibunuh. Polisi diduga menargetkan mereka yang telah menyaksikan pembunuhan lain atau pun mengklaim bahwa mereka bertindak untuk membela diri. "Dalam kasus lain, anak-anak dibunuh sebagai proksi ketika target sebenarnya tidak dapat ditemukan, sebagai akibat dari identitas yang salah, atau terkena peluru nyasar," kata laporan itu.
Sekurangnya 122 kematian yang didokumentasikan kemungkinan merupakan perkiraan yang rendah. Sebab, kerabat sering diancam oleh polisi dan diberitahu untuk tidak menghubungi kelompok hak asasi manusia untuk meminta bantuan. Aktivis juga menghadapi pelecehan terus-menerus. "Saya akan membunuh Anda bersama dengan pecandu narkoba. Saya akan memenggal kamu," ujar Duterte memperingatkan kelompok masyarakat sipil tahun lalu.
Dari sekian banyaknya pembunuhan anak, hanya satu yang terekam dan diproses hukum. Kian delos Santos yang berusia 17 tahun tewas terbunuh. Dengan hampir impunitas total, kematian berlanjut. Sejak dimulai awal tahun ini, tujuh anak lagi telah kehilangan nyawa.
Belakangan, sebuah laporan oleh komisaris tinggi PBB untuk HAM, yang akan dirilis kepada Dewan HAM PBB pada Selasa, memperingatkan bahwa retorika oleh para pejabat tertinggi berpotensi mendorong polisi untuk berperilaku seolah-olah mereka memiliki izin membunuh. Kelompok-kelompok HAM mendesak dewan HAM untuk memerintahkan penyelidikan independen lebih lanjut mengenai pelanggaran di Filipina, seperti yang sebelumnya dilakukan untuk kekejaman di Venezuela dan Myanmar.
Kekhawatiran terhadap HAM di Filipina kian menguat. Tindakan Duterte dinilai berupaya membungkam aktivis dan media independen. Awal bulan ini, editor eksekutif Rappler Maria Ressa dinyatakan bersalah atas dakwaan fitnah lewat internet.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pekan lalu, sekelompok pakar HAM mengatakan situasi di Filipina kini telah mencapai tingkat yang membutuhkan intervensi kuat oleh PBB.
"Dewan HAM harus melakukan segala daya untuk mencegah kelanjutan dari pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis terhadap rakyat Filipina," kata mereka dalam pernyataan yang ditandatangani oleh lebih dari 20 tokoh HAM.