Selasa 30 Jun 2020 14:12 WIB

Kian Panas, Macron Tuding Turki Bertangung Jawab di Libya

Macron menilai Turki telah meningkatkan kekuatan militer di Libya.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP/Ludovic Marin/AFP POOL
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis, Emmanuel Macron,  menuduh sesama anggota NATO Turki memiliki tanggung jawab pidana atas keterlibatan dalam konflik Libya, Senin (29/6). Pernyataan ini semakin meningkatkan perselisihan antara Paris dengan Ankara.

"Saya pikir ini adalah tanggung jawab historis dan pidana bagi seseorang yang mengaku sebagai anggota NATO," kata Macron setelah mengadakan pembicaraan dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel di kastil Meseberg dekat Berlin.

Baca Juga

Dikutip dari Al arabiya, Macron menyatakan, Turki telah meningkatkan posisi militer dan secara besar-besaran mengimpor kembali milisi dari Suriah. Bahkan, dia menyatakan, setelah kekuatan asing setuju awal tahun ini untuk mengakhiri campur tangan dan menghormati embargo senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa, Turki malah semakin kuat berada di Libya.

Bagi presiden Prancis, perilaku Turki di Libya tidak dapat diterima oleh Paris. Dia meminta, sudah saatnya bagi Ankara untuk segera mengklarifikasi sikapnya selama berada di tanah Libya.

Ankara mendukung Pemerintah Libya yang berada dalam kelompok Government of National Accord (GNA). Turki mendukung GNA dalam melawan komandan yang berpangkalan di timur Libya, Khalifa Haftar, dengan  Libyan National Army (LNA).

Libya yang kaya minyak berada dalam kekacauan setelah diktator Muammar Qadafi digulingkan dalam pemberontakan yang didukung NATO tahun 2011. Pemerintahan dan milisi telah bersaing untuk mendapatkan kekuasaan sejak itu dan terus menarik keterlibatan negara-negara  asing di serta mengancam stabilitas kawasan.

Macron awal pekan lalu telah menuduh pemerintah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, memainkan permainan berbahaya di negara Afrika utara itu. Dia menyatakan keterlibatan Turki tidak bisa lagi ditoleransi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement