Selasa 30 Jun 2020 20:19 WIB

Suhu Kutub Selatan Menghangat Hingga Tiga Kali Lipat

Suhu Kutub Selatan menghangat sejak 1989.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Lapisan es kutub selatan
Lapisan es kutub selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu di Kutub Selatan dilaporkan telah menghangat hingga tiga kali lipat terhitung sejar 1989. Hal ini diketahui dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam Natural Climate Change pada Senin (29/6).

Iklim di Antartika menunjukkan beberapa rentang suhu terbesar selama satu tahun. Sebagian besar wilayah barat benua ini dan bagian semenanjung mengalami pemanasan, bahkan penipisan lapisan es selama akhir abad ke-20.

Baca Juga

Sebaliknya, Kutub Selatan yang teletak di dalam Antartika dan dataran tinggi memiliki suhu sangat dingin hingga 1980-an. Tetapi, sejak tahun itu terus menghangat secara substansial.

Tren ini dipengaruhi oleh perubahan iklim alami dan antropogenik, tetapi kontribusi individu dari masing-masing faktor tidak dipahami dengan baik dan sulit untuk ditentukan secara tepat. Dilansir British Antartic Survey, tim ilmuwan menganalisis data stasiun cuaca, pengamatan grid dan simulasi model iklim untuk memeriksa tren pemanasan di Kutub Selatan.

Studi tersebut menemukan bahwa pemanasan yang kuat di bagian dalam Antartika selama 30 tahun terakhir, didorong oleh daerah tropis. Secara khusus adalah suhu lautan hangat di Samudera Pasifik yang telah menurunkan tekanan atmosfer di atas Laut Weddell (lintang selatan Atlantik).

Hal itu juga meningkatkan pengiriman udara hangat ke Kutub Selatan. Para peneliti berpendapat bahwa perubahan atmosfer di sepanjang pantai Antartika ini merupakan mekanisme penting yang mendorong anomali iklim ekstrem di bagian dalamnya.

“Kutub Selatan adalah salah satu tempat paling terpencil di Bumi, tetapi penelitian kami telah menyoroti bahwa Antartika terkait erat dengan seluruh sistem iklim global, dengan peningkatan suhu baru-baru ini sebagai akibat dari pemanasan Samudera Pasifik bagian barat,” ujar ilmuwan iklim John Turner.

Tim dalam studi berpendapat bahwa tren pemanasan ini tidak mungkin merupakan hasil dari perubahan iklim alami saja. Peneliti menekankan efek pemanasan antropogenik di atas sinyal iklim tropis besar di iklim Antartika telah bekerja bersama-sama untuk menjadikan ini salah satu tren pemanasan terkuat di Bumi.

"Selama paruh kedua abad ke-20 Kutub Selatan tampaknya tidak tersentuh oleh pemanasan global, sebagian karena lubang ozon mempercepat angin barat di sekitar benua Antartika, mengurangi pergerakan selatan dari udara hangat dan memang,suhu sebenarnya menjadi sedikit lebih dingin,” kata rekan penulis studi, Gareth Marshall.

Marshall mengatakan pada  abad ke-21, peralihan variabilitas iklim tropis dikombinasikan dengan angin barat yang lebih kuat untuk membuka koridor atmosfer di Atlantik Selatan. Ini memungkinkan udara hangat mencapai Kutub Selatan.

Sebagai hasilnya, penemuan sangat berbeda dengan apa yang diamati sebelumnya. Selama 30 tahun terakhir Kutub Selatan mengalami pemanasan yang sangat cepat, lebih dari tiga kali rata-rata global. Studi ini dengan jelas menunjukkan bahwa lokasi terpencil suatu wilayah bukanlah halangan untuk menjadi rentan terhadap perubahan iklim yang cepat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement