REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan rencana pencaplokan Tepi Barat oleh Israel merupakan ancaman eksistensial bagi rakyat Palestina. Dia meminta negara-negara Eropa memimpin negosiasi perdamaian multilateral.
“Pencaplokan Tepi Barat adalah penghancuran sistematis negara Palestina di masa depan. Tapi tak hanya itu, ini adalah ancaman eksistensial bagi Palestina sebagai sebuah bangsa,” kata Shtayyeh pada Senin (29/6), dikutip laman Arab News.
Dia menjelaskan jika Israel melanjutkan rencananya, hal itu akan menjadi awal ekspansi Israel yang jauh lebih luas dan mengancam hampir semua tanah Palestina. “Aneksasi ini adalah aneksasi merayap (bertahap) yang hanya akan berakhir dengan Israel menelan semua Tepi Barat. Ini akan meninggakan Palestina hanya dengan Gaza,” ujarnya.
Terkait hal ini, Shtayyeh mendesak pergeseran paradigma penyelesaian dari bilateralisme ke multilateralisme. Dia mendorong negara-negara Eropa dan Uni Eropa memimpin proses negosiasi yang adil. “Kami siap untuk negosiasi serius berdasarkan hukum internasional,” ucapnya.
Sementara itu di Jalur Gaza, faksi nasional dan perlawanan Islam membuat komitmen untuk bersatu menghadapi rencana pencaplokan Tepi Barat oleh Israel. Mereka menyerukan warga Palestina di Gaza barpartisipasi dalam demonstrasi “hari kemarahan” pada Rabu (1/7).
Israel memang berencana memulai proses pencaplokan Tepi Barat pada 1 Juli. Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan menunda pelaksanaannya. Dia mengisyaratkan masih menjalin diskusi dengan Amerika Serikat (AS).
“Saya memiliki jalur komunikasi positif dan hangat dengan Amerika dan ketika saya memiliki sesuatu untuk dilaporkan, saya akan melaporkannya," ucapnya pada Senin lalu dikutip laman Times of Israel.
Netanyahu tak menampik bahwa pencaplokan Tepi Barat merupakan proses yang rumit. Terdapat banyak pertimbangan diplomatik dan keamanan yang tidak dapat dia bahas secara publik. "Kami mengatakan bahwa (pencaplokan) akan terjadi setelah 1 Juli,” ujarnya.