REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berharap sikap menentang dari mayoritas negara di dunia dapat menjadi faktor yang mencegah Israel menganeksasi wilayah Tepi Barat dan Lembah Jordan. Sejak lama, RI menekankan solusi dua negara untuk masalah Palestina dan Israel.
"Indonesia sejak jauh-jauh hari sudah melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mencegah Israel melakukan niatnya menganeksasi wilayah Tepi Barat," ujar Pelaksana Tugas (Plt) juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah kepada Republika.co.id, Selasa (30/6).
"Semoga sikap penentangan mayoritas negara di dunia menjadi faktor pencegah (deterrent)," ujarnya menambahkan.
Mayoritas negara di dunia memang sudah menentang dan bahkan menolak rencana aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memutuskan menunda pelaksanaan pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat yang diagendakan dilakukan pada Rabu (1/7). Netanyahu mengisyaratkan masih menjalin diskusi dengan Amerika Serikat (AS) perihal rencananya mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat.
"Saya memiliki jalur komunikasi positif dan hangat dengan Amerika dan ketika saya memiliki sesuatu untuk dilaporkan, saya akan melaporkannya," ucapnya, dikutip laman Times of Israel.
Netanyahu tak menampik bahwa pencaplokan Tepi Barat merupakan proses yang rumit. Terdapat banyak pertimbangan diplomatik dan keamanan yang tidak dapat dia bahas secara publik. "Kami mengatakan bahwa (pencaplokan) akan terjadi setelah 1 Juli," ujar Netanyahu.
Sebelumnya, Indonesia bersama Tunisia dan Afrika Selatan memprakarsai pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tingkat menteri untuk membahas situasi Timur Tengah terutama rencana aneksasi bagian-bagian wilayah Tepi Barat oleh Israel.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi yang mengikuti pertemuan DK PBB menyampaikan pernyataan tajam kepada seluruh anggota DK PBB. "Pilihan ada di tangan kita, apakah akan berpihak kepada hukum internasional, atau menutup mata dan berpihak di sisi lain yang memperbolehkan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional?" tanya Retno.
Dalam pertemuan yang dipimpin Prancis selaku Presiden DK PBB Juni 2020 ini, Menlu Retno menegaskan tiga hal alasan penting masyarakat internasional harus menolak rencana aneksasi Israel. Pertama, rencana aneksasi formal Israel terhadap wilayah Palestina merupakan pelanggaran hukum internasional.
Menurut Retno, memperbolehkan aneksasi artinya membuat preseden di mana penguasaan wilayah dengan cara aneksasi adalah perbuatan legal dalam hukum internasional. "Seluruh pihak harus menolak secara tegas di seluruh forum internasional baik melalui pernyataan maupun tindakan nyata bahwa aneksasi adalah illegal," ujar Retno.
Kedua, Retno mengatakan, rencana aneksasi formal Israel ini merupakan ujian bagi kredibilitas dan legitimasi DK PBB di mata dunia internasional. DK PBB didesak harus cepat mengambil langkah cepat yang sejalan dengan Piagam PBB.
"Siapa pun yang mengancam terhadap perdamaian dan keamanan internasional harus diminta pertanggungjawabannya dihadapan DK PBB. Tidak boleh ada standar ganda," ujar dia.
Alasan ketiga yang disampaikan Retno, aneksasi akan merusak seluruh prospek perdamaian dan aneksasi juga akan menciptakan instabilitas di Kawasan dan dunia. Untuk itu, terdapat urgensi adanya proses perdamaian yang kredibel di mana seluruh pihak berdiri sejajar. "Ini waktu yang tepat untuk memulai proses perdamaian dalam kerangka multilateral berdasarkan parameter internasional yang disepakati," tegasnya.