Selasa 30 Jun 2020 21:41 WIB

Pengacara Imam: Sadapan Soal Aliran Uang tidak Didalami KPK

Aliran uang ke BPK dan Kejakgung dalam perkara Imam Nahrawi terungkap di persidangan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Gratifikasi Imam Nahrawi mengikuti sidang putusan yang disiarkan secara live streaming di gedung KPK, Jakarta, Senin (29/6). Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider tiga bulan kurungan. Prayogi/Republika
Foto: Republika/Prayogi
Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Gratifikasi Imam Nahrawi mengikuti sidang putusan yang disiarkan secara live streaming di gedung KPK, Jakarta, Senin (29/6). Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga tersebut divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider tiga bulan kurungan. Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kuasa Hukum Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Wa Ode Nur Zainab mengungkapkan adanya sadapan pembicaraan ihwal dugaan aliran uang ke mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi. Diketahui, dalam persidangan Imam Nahrawi saat JPU menghadirkan saksi Mantan Asisten Menpora, Miftahul Ulum, terungkap bahwa ada aliran uang ke pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung).

Menurut Zainab hal tersebut sudah diungkapkan di persidangan namun tak ditindaklanjuti lebih dalam. Bahkan, lanjutnya, Ulum juga menjelaskan ihwal waktu-waktu pemberian uang-uang itu. Ulum, kata dia, juga sampai pernah diancam agar seakan-akan uang itu diterimanya sendiri, supaya opini yang berkembang justru ke Menpora Imam Nahrawi.

Baca Juga

“Ada tapping (sadapan) pembicaraan soal uang itu sebenarnya. Tanya ke KPK, dan padahal ada buktinya, tapi itu tidak pernah didalami ,” ujar Zainab di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/6).

Meskipun, lanjut Zainab, saat menyampaikan nota pembelaan, Ulum menyampaikan permintaan maaf ihwal pernyataannya tersebut. Zainab menyebut permintaan maaf Ulum tersebut, bukan berarti perkataan sebelumnya tidak benar.

Menurut Zainab, Ulum memang membeberkan fakta-fakta pemberian uang itu saat diperiksa KPK. Hanya saja, ia meminta maaf karena menyebutkan identitas personal saat di persidangan.

Karena itu, kata dia, Ulum menyampikan maaf bukan berarti mencabut atau mengubah pernyataan dirinya, baik di BAP maupun di persidangan. Bahkan kepada penyidik materi itu merupakan bagian dari pengajuan justice collaborator (JC) kliennya.

“Beberapa kali saya ketemu, beliau (Ulum) itu sebenarnya dengan gamblang sekali bercerita, kepada saya, bagaimana beliau tahu ada uang yang diberikan ke penegak hukum ’sebelah’, bahkan disebutkan orang-orangnya siapa, yang mengantarkan uangnya siapa, itu disebutkan,” terang Zainab.

Dalam perkara ini, Imam Nahrawi dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Imam divonis 7 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain pidana badan, Imam juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti senilai Rp18.154 238.882. Jika tidak dibayarkan, maka harta benda milik Imam Nahrawi akan disita dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

"Jika harta benda terdakwa belum juga cukup untuk membayar uang pengganti, maka terdakwa dikenakan pidana penjara selama 2 tahun," ucap hakim.

Selain itu, Imam juga dikenakan hukuman tambahan dengan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani masa pidana penjara. Majelis Hakim juga menolak permohonan status JC yang diajukan oleh Imam Nahrawi.

Anggota BPK Achsanul Qosasi sudah membantah menerima suap dari mantan Menpora Imam Nahrawi, seperti yang disampaikan oleh Miftahul Ulum. Achsanul disebut Ulum menerima Rp3 miliar.

"Saya tidak kenal Ulum dan tidak pernah bertemu dan tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan dia," kata Qosasi dalam keterangannya pada Sabtu, (16/5).

Pihak Kejakgung juga membantah pengakuan Ulum, yang mengungkapkan tentang adanya uang 'tutup mulut' kepada Kejakgung, saat penyidikan dugaan suap dan gratifikasi dana hibah KONI pada 2016-2017. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Hari Setiyono menegaskan, Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) di Kejakgung, masih tetap melakukan penyidikan terkait dugaan korupsi dana bantuan keolahragaan tersebut.

Hari mengatakan bukti dari kelanjutan kasus tersebut, dengan kembali melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, pada 19 Mei 2020. Ada tiga saksi yang diperiksa. Termasuk Ulum, dan dua pejabat di Kemenpora, yakni Chandra Bhakti, dan Washinton Sagalingging yang menjabat di Deputi I Kemenpora.

"Dengan adanya pemeriksaan tiga saksi tersebut, maka menepis keterangan dari Miftahul Ulum, dalam persidangan Tipikor," kata Hari, dalam keterangan resmi, pada Selasa (19/5).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement