REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut relasinya dengan pembentuk undang-undang, yakni Presiden dan DPR, cenderung fluktuatif antara konfrontatif dan kooperatif. Tidak seperti di Ukraina dan Rumania, Mahkamah Konstitusi RI dan pembentuk undang-undang tidak sampai saling melemahkan kewenangan masing-masing.
"Relasi Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang itu sebetulnya, apakah konfrontatif atau kooperatif, di kita cenderung fluktuatif, jadi tidak ditemukan betul polanya," ujar Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono dalam seminar daring bertajuk "Dua dekade perkembangan dan dinamika kekuasaan kehakiman", Selasa (30/6).
Ia menyebutkan relasi konfrontatif misalnya pada 2014 saat terdapat kasus suap penanganan sengketa pilkada yang membelit ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Akil Mochtar. Kala itu, presiden segera mengeluarkan perppu penyelamatan Mahkamah Konstitusi yang kemudian dijadikan undang-undang. Kemudian saat terdapat pihak yang mengajukan pengujian undang-undang itu, MK membatalkan seluruhnya undang-undang itu.
Sementara relasi kooperatif nampak dalam putusan MK terkait dengan politik, misalnya soal partai politik, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) serta pelaksanaan pemilu. "Terkait dengan partai politik, terkait dengan UU MD3 dan seterusnya itu kalau kita cermati bisa dilaksanakan dengan cepat," ujar Fajar Laksono.
Relasi keduanya disebutnya sangat kasuistik tergantung undang-undang yang diputus, padahal putusan MK bersifat final dan mengikat. Ia menegaskan dalam ketatanegaraan Indonesia terutama terkait bagaimana kekuasaan kehakiman khususnya Mahkamah Konstitusi dalam hubungannya dengan DPR dan presiden, berakar pada penegakan konstitusi.