Rabu 01 Jul 2020 05:28 WIB

Polisi dan Hasrat Ketertiban

Polri diharapkan tidak hanya menjadi alat penyambung lidah kekuasaan.

Red: Karta Raharja Ucu
Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Foto: Dokumentasi Pribadi
Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari*

Sebuah lelucon Gus Dur mengisi ruang pikiran publik ihwal polisi jujur yang ada di Indonesia. Saat ini tidak penting lagi menelisik waktu dan konteks peristiwa ketika Gus Dur melontarkan candaan; bahwa Polisi yang jujur itu hanyalah ada tiga yakni polisi tidur, polisi patung dan polisi Hoegeng (Kapolri kelima). Nahas, humor Gusdur tahun ini memaksa seseorang berurusan dengan hukum dan berujung permohonan maaf dari pelaku. Tak berselang lama kritik tajam mengemuka dan tertuju pada intansi Polri yang konon dituduh anti-kritik bahkan terlalu “baper”.

Publik masih mengingat bahwa agenda reformasi di tubuh Polri tertuang dalam Nawacita sejak periode pertama pemerintahan Jokowi-JK. Membangun Polri yang profesional dan dipercaya masyarakat, akan tetapi hingga saat ini masih menyisakan agenda besar. Menyoal refromasi di tubuh Polri di usia yang ke-74 tahun ini, Polri diharapkan tidak hanya menjadi alat penyambung lidah kekuasaan atau sekedar penjaga malam.

Mungkinkah ketidakpercayaan publik bergeser menjadi dukungan terhadap reformasi di tubuh Polri? Ataukah yang terjadi hanya sekedar alienasi birokratis yang menunjukkan jarak dengan ketidakpercayaan terhadap insitusi kepolisian yang lebih tinggi yang berada di lingkaran pusat kekuasaan?

Polisi, Hukum dan Basis Sosial

Sejarah institusi Polri dimulai sejak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) pada tanggal 19 Agustus 1945. Sebulan kemudian Presiden Sukarno melantik R.S Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pada masa transisi kemerdekaan, Polri tak hanya bertugas sebagai penegak hukum, tetapi juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri adalah juga “combatant”.

Polisi sebagai pranata sipil yang memiliki tugas sebagaimana di amanatkan oleh UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam konsideran undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Polri bertugas untuk melakukan pemeliharaan keamanan dalam negeri meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Barangkali pembentuk undang-undang sudah mengetahui, bahwa semakin modern masyarakat, maka akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal menjadi semakin besar pula.

Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola pengaturan santai atau represif, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi, seimbang, terorganisasi, jelas dan terperinci. Serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun, bersamaan dengan itu persoalan yang ditimbulkannyapun tidak kalah banyak dan semakin kompleks.

Bagaimana kita dapat memahami relasi hukum dan basis sosialnya? Ketertiban sebagai salah satu tujuan utama dari penegakan hukum. Bahwa hukum tak hanya terhubung dengan sistem dan peraturan-peraturan perundang-undangan saja. Hukum selalu beririsan dengan perasaan keadilan masyarakat.

Bahwa posisi asali kekuasaan sebagai sumber hukum yang dimiliki negara dan kontrak sosial, fakta inilah yang seharusnya melahirkan keadilan sebagai fairness. Karena itu konsepsi keadilan diurutkan berdasar akseptabilitas, dan justifikasi diatasi dengan menyelesaikan problem pemikiran, prinsip mana yang hendak digunakan dalam situasi sosial tertentu, hal ini menjadi penanda bahwa hukum sekalipun bersumber dari power akan tetapi pijakannya tetap masyarakat sebagai basis sosial sebagai sumber perasaan keadilan. Hukum tidak hanya dioperasionalisasikan dalam suatu sistem yang kaku dan rigid, atau jelmaan kompromi politik.

Faktanya, terdapat irisan antara hubungan politik kriminal dengan politik sosial, bahwa seluruh kebijakan atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Menyitir Prof Sudarto, bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat/modernisasi, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, dan hal tersebut pun harus merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Memang akan menjadi berat tantangan tugas polisi di masa kini, kompleksitas kejahatan, kekuasaan yang kerap bersilangan menuntut polisi untuk mengedepankan tidak hanya profesionalitas melainkan idealisme, keberanian dan sudah wajib hukumnya polisi yang baik dan berpihak pada kebenaran akan selalu menjadi musuh penjahat, koruptor dan penguasa yang dzalim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement