REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Idul Rishan menyebut kekuasaan kehakiman tetap perlu diintervensi oleh negara. Hal itu untuk menjembatani kebutuhan politik pemerintah dan kebutuhan lembaga peradilan.
"Tidak semua intervensi negara itu harus dimaknai bahwa dalam artian negatif, ada beberapa hal intervensi itu kita butuhkan untuk menunjang performa peradilan," ujar Idul Rishan dalam seminar daring bertajuk "Dua dekade perkembangan dan dinamika kekuasaan kehakiman", Selasa (30/6).
Ia mengatakan, kekuasaan kehakiman tidak terpisah dan berdiri sendiri. Misalnya Mahkamah Agung menjalankan peran berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan amanah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Kendati demikian, intervensi perlu diwaspadai saat keberadaannya menciderai performa kekuasaan kehakiman, seperti ancaman anggaran peradilan yang menyebabkan hakim tidak bisa mempertahankan independensi. Selanjutnya dapat berbentuk politik perundang-undangan mau pun seleksi dan pengangkatan hakim.
Selain intervensi yang bersifat negatif, Idul menilai ancaman kemerdekaan kekuasaan kehakiman juga dapat berasal dari internal kehakiman. Misalnya, performa organisasi yang minim pengawasan serta sistem mutasi dan promosi yang tidak objektif.
Ke depan agar lembaga peradilan lebih independen dan profesional, ia berpendapat independensi dan akuntabilitas harus berjalan secara dinamis. Selain itu, ia berpendapat peran Komisi Yudisial perlu ditambah dengan tidak hanya menyeleksi dan mengawasi hakim peradilan di bawah Mahkamah Agung, tetapi juga sebagai penghubung kepentingan politik pemerintah dan kepentingan lembaga peradilan.
"Ketika MA dan MK memberikan kepercayaan kepada KY, sangat dimungkinkan intervensi negara masuk kembali kepada KY. Kita kuatkan KY dalam fungsi pengawasannya dan self government," ujar Idul.