REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pakar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Tongat, menyampaikan unsur ketidaksengajaan dalam kasus Novel Baswedan harus dilihat secara cermat. Sebab, unsur ini akan sangat menentukan berat ringannya pidana kepada pelaku tindak pidana.
"Sebagai bagian dari kesalahan, unsur tidak sengaja dalam hukum pidana perlu melihat secara obyektif. Mengingat, dalam konteks hukum pidana sekarang dianut konsep kesalahan secara normatif," kata Tongat.
Menentukan seseorang bisa dianggap lalai atau tidak sengaja melakukan suatu tindak pidana harus dilihat bagaimana penilaian secara obyektif. Hal ini terutama terhadap hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya. Atau lebih tepatnya, penilaian dari luar diri si pelaku.
Ada atau tidaknya ketidaksengajaan itu bukan selalu didasarkan pada pengakuan subyektif pelaku. Sebab, orang pada dasarnya mempunyai kecenderungan berbohong. Oleh karena itu, akan sulit menemukan pembuktian kesalahan apabila ditumpukan pada pengakuan subyektif pelaku.
"Dalam konteks kasus Novel ini silakan diuji, apakah mungkin orang yg bersengaja datang ke suatu tempat naik sepeda motor dengan rencana matang untuk menyiramkan air keras pada seseorang, lantas perbuatannya itu dianggap 'tidak sengaja menyiram korban'," katanya dalam keterangan pers yang diterima Republika.
Sebelumnya, masyarakat Indonesia sedang ramai membicarakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Menurut JPU, penyerang tidak sengaja menyiram air keras ke mata Novel. Frasa “tidak sengaja” kemudian menjadi trending di media sosial.
Di kesempatan serupa, Tongat juga menguraikan bagaimana konstruksi hukum tentang tindak pidana penganiayaan. Dalam hal ini untuk menunjukkan apa sebenarnya yang menjadi obyek tindak pidana penganiayaan. Menurutnya, tindak pidana penganiayaan yang didakwakan kepada penyerang Novel tidak satupun memuat unsur ketidaksengajaan pada aspek perbuatannya.
Konstruksi hukum penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Hal ini dilakukan akibat semata-mata merupakan satu-satunya tujuan si pelaku.
"Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan yang dimaksud dalam Pasal 351-358 KUHP, termasuk yang didakwakan kepada pelaku penyerang Novel," jelasnya.
Tindak pidana penganiayaan pada dasarnya tidak ada unsur perbuatannya yang dilakukan tanpa sengaja. Unsur ketidaksengajaan dalam pasal-pasal tersebut hanya mungkin melekat pada aspek akibat, bukan pada perbuatan.
Terkait tuntutan satu tahun penjara kepada pelaku, Tongat mempertanyakan rumus yang digunakan oleh JPU. Menurutnya, semua pasal yang didakwakan kepada pelaku merupakan delik dolus. “Argumentasi yang menyatakan 'terdakwa tidak sengaja' menyiram air keras ke mata (tidak sengaja melukai mata), hanya mungkin ada jika perbuatan dalam penganiayaan berunsur kealpaan,” kata Tongat.
Kedua, dalam yurisprudensi juga sudah demikian terang bahwa penyiraman air keras kualifikasinya itu penganiayaan berat. Ia lantas berkaca pada sejumlah kasus penyiraman air keras. Salah satunya kasus Lamaji yang dituntut 15 tahun penjara karena menyiram air keras ke pemandu karaoke dan beberapa yurisprudensi sejenis.
Ia berkesimpulan, penegak hukum telah mereduksi konstruksi tindak pidana penganiayaan. Situasi ini pun melahirkan penafsiran yang tidak tepat dan tidak valid. Di dalam tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351-358 KUHP, termasuk pasal yang didakwakan kepada terdakwa penyerang Novel, tidak ada aspek “perbuatan” yang berunsur kealpaan. Unsur kealpaan dalam tindak pidana tersebut hanya mungkin melekat pada unsur “akibat”.
"Jika JPU tetap pada argumentasinya, bahwa terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke mata Novel Baswedan, maka terdakwa harus dibebaskan atas dakwaan Pasal 353 (2) KUHP," ucapnya.