REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kondisi kualitas kesehatan jiwa di Indonesia terus turun karena ada pandemi Covid-19. Karenanya, psikiater-psikiater Muhammadiyah membangun sinergi untuk bisa berperan dalam misi gerakan kesehatan jiwa di Indonesia.
Psikiater Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dr. Widea Rossi Desvita mengatakan, psikiater Muhammadiyah dan lembaga otonom Muhammadiyah harus bersinergi dan berperan. Tujuannya, tidak lain optimalisasi peran dari masing-masing unit.
"Untuk berkolaborasi menjadi satu tim kesehatan jiwa Muslim dari lintasan sektoral di organisasi Muhammadiyah," kata Widea dalam Covid-19 Talk yang digelar Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC), belum lama ini.
Selain bersinergi dengan lembaga otonom Muhammadiyah, promosi diri profesi psikiater kepada masyarakat perlu dilakukan. Hal itu berkenaan stigma yang terbangun dalam masyarakat terkait gangguan kejiwaan.
Terlebih, masyarakat cukup skeptis menganggap kesehatan jiwa dan masih merasa takut berhadapan dengan dokter ahli jiwa. Data saat ini tercatat kurang lebih 19 juta jiwa berkisar 2-15 tahun mengidap gangguan mental.
"Dan, diperkirakan tahun ini Indonesia menjadi negara kedua tertinggi pasien gangguan jiwa," ujar Widea.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Islam (RSJI) Klender, dr. Prasila Darwin menuturkan Kementerian Kesehatan memiliki harapan dapat menurunkan potensi kematian yang disebabkan penyakit tidak menular. Salah satunya gangguan jiwa.
Tapi, kenyataannya lagi-lagi stigma buruk masyarakat terhadap gangguan jiwa masih menjadi faktor penting di Indonesia. Selain itu, rasa takut dan akses fasilitas kesehatan yang sulit mendukung kondisi tersebut.
"Sehingga, penurunan potensi kematian akibat gangguan jiwa sulit dikendalikan," kata Prasila.
Psikiater Asri Medical PKU Muhammadiyah Gamping, dr. Warih Adnan Puspitosari menambahkan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) miliki prasangka diri sendiri. Yang mana, ada prasangka buruk terhadap penilaian diri di hadapan orang luar.
Untuk itu, melalui gerakan komunitas kesehatan jiwa perlu membuat kegiatan bersama secara terbuka ODGJ dan masyarakat yang berakibat kepada perubahan prasangka diri sendiri. Baik kepada ODGJ maupun masyarakat itu sendiri.
"Ketika ODGJ sudah bertemu orang dan merasa diterima dengan orang lain mereka akan jadi lebih produktif, membongkar stigma dengan langsung melihat dengan program-program yang diadakan," ujar Warih.