Rabu 01 Jul 2020 11:08 WIB

Penjara Seumur Hidup Bayangi Gerakan Pro-Demokrasi Hong Kong

UU Keamanan Hong Kong yang disahkan China mengancam sanksi penjara seumur hidup

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Para pengunjuk rasa berkumpul di sebuah pusat perbelanjaan di Central selama protes pro-demokrasi terhadap hukum keamanan nasional Beijing di Hong Kong, Selasa, 30 Juni 2020. Media Hong Kong melaporkan bahwa China telah menyetujui undang-undang yang kontroversial yang akan memungkinkan pihak berwenang untuk menindak aktivitas subversif dan separatis di Hong Kong, memicu kekhawatiran bahwa itu akan digunakan untuk mengekang suara oposisi di wilayah semi-otonom.
Foto: AP/Vincent Yu
Para pengunjuk rasa berkumpul di sebuah pusat perbelanjaan di Central selama protes pro-demokrasi terhadap hukum keamanan nasional Beijing di Hong Kong, Selasa, 30 Juni 2020. Media Hong Kong melaporkan bahwa China telah menyetujui undang-undang yang kontroversial yang akan memungkinkan pihak berwenang untuk menindak aktivitas subversif dan separatis di Hong Kong, memicu kekhawatiran bahwa itu akan digunakan untuk mengekang suara oposisi di wilayah semi-otonom.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG — Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional Hong Kong resmi diberlakukan pada Selasa (30/6) malam. Undang-undang tersebut telah dipandang sebagai “pedang” untuk menebas gerakan pro-demokrasi di wilayah otonomi khusus tersebut.

Dalam UU tersebut, terdapat empat tindakan utama yang akan dijerat, yakni subversi, terorisme, seruan atau kampanye pemisahan diri dari China, dan berkolusi dengan kekuatan asing untuk membahayakan keamanan nasional. Hukuman maksimum untuk keempat pelanggaran itu adalah penjara seumur hidup.

Baca Juga

Sementara beberapa pelanggaran ringan akan menghasilkan pidana penjara kurang dari tiga tahun. Meski memperoleh penolakan keras dari masyarakat Hong Kong, tapi pemerintah menjamin bahwa UU itu hanya membidik kelompok minoritas. Hal itu pun dinyatakan telah berulang kali dinyatakan Pemerintah China sejak memperkenalkan rancangan undang-undang terkait lebih dari sebulan lalu.

“UU ini akan menjadi pedang tajam yang menggantung di atas minoritas orang yang membahayakan keamanan nasional. Tapi bagi sebagian penduduk Hong Kong, serta orang asing di kota tersebut, UU ini akan menjadi malaikat pelindung yang melindungi hak-hak mereka, kebebasan, dan cara hidup yang damai,” kata Kantor Dewan Negara untuk Urusan Hong Kong dan Makau dalam sebuah pernyataan, dikutip laman South China Morning Post.

Kantor penghubung China di Hong Kong mengungkapkan UU Keamanan Nasional alan memberi dukungan kuat bagi kota tersebut untuk beralih dari kekacauan ke stabilitas. “Tidak seorang pun harus meremehkan tekad pemerintah pusat untuk menjaga keamanan nasional di Hong Kong,” katanya.

Dalam penerapannya UU Keamanan Nasional menjabarkan tiga keadaan di mana agen keamanan nasional baru China di Hong Kong dapat menggunakan yurisdiksi alih-alih mengandalkan mitra lokalnya, yakni komisi keamanan nasional. Keadaan tersebut antara lain kasus serius yang melibatkan situasi rumit dari intervensi asing, kasus yang tak dapat ditangani Pemerintah Hong Kong, dan situasi yang secara serius mengancam keamanan nasional.

Untuk kasu-kasus di mana China menjalankan yurisdiksi, agen mereka akan meluncurkan penyelidikan. Setelah itu Kejaksaan Agung Rakyat (jaksa penuntut negara) akan menugaskan otoritas penuntut yang relevan untuk mengambil alih penuntutan. Mahkamah Agung akan menugaskan pengadilan terkait untuk mengadili kasus-kasus itu.

“Hak-hak kami (sedang) diambil, kebebasan kami hilang, aturan hukum kami, independensi peradilan kami hilang,” kata Ted Hui, seorang legislator oposisi di Hong Kong, dikutip laman BBC.

Para aktivis Hong Kong berencana menggelar demonstrasi lanjutan untuk menentang UU Keamanan Nasional pada Rabu (1/7). Belum dapat dipastikan apakah mereka yang berpartisipasi dalam aksi tersebut dapat segera dijerat dengan UU Keamanan Nasional. 

Sebab dalam aksi-aksi sebelumnya, massa kerap meneriakkan jargon-jargon seperti “bebaskan Hong Kong” dan boikot Partai Komunis China (PKC). Tak jarang ada di antara peserta aksi yang mengibarkan bendera Inggris. 

Aksi pengibaran bendera itu merupakan respons historis atas Sino-Britis Joint Declaration yang ditandatangani mantan perdana menteri Cina Zhao Ziyang dan mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher pada Desember 1984. Di bawah kesepakatan itu, Inggris setuju menyerahkan kembali kendali atas Hong Kong kepada China. 

Namun, terdapat syarat-syarat menyertainya, seperti pemberian tingkat otonomi daerah yang tinggi dan mempertahankan hak-hak tertentu yang tidak diberikan di China daratan.  Disepakati pula bahwa Hong Kong akan melanjutkan sistem ekonomi kapitalis yang berbeda dengan model komunis China. Perjanjian itu berlaku untuk 50 tahun ke depan atau hingga 2047. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement