Rabu 01 Jul 2020 11:57 WIB

UU Keamanan Hong Kong, Dikritik Dunia Dibela China

China menegaskan dunia tidak berhak ikut campur urusan Hong Kong.

Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengusung slogan Stop One Party Rolling ketika berunjuk rasa di Hong Kong, Rabu (1/7). Hong Kong memasuki 23 tahun penyerahannya kembali ke China sejak 1997. Kini China memberlakukan UU Keamanan Nasional yang menekan bagi aksi protes di Hong Kong.
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengusung slogan Stop One Party Rolling ketika berunjuk rasa di Hong Kong, Rabu (1/7). Hong Kong memasuki 23 tahun penyerahannya kembali ke China sejak 1997. Kini China memberlakukan UU Keamanan Nasional yang menekan bagi aksi protes di Hong Kong.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Dwina Agustin

Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional Hong Kong resmi diberlakukan pada Selasa (30/6) malam. UU tersebut telah dipandang sebagai pedang untuk menebas gerakan pro-demokrasi di wilayah otonomi khusus tersebut.

Baca Juga

Dalam UU tersebut, terdapat empat tindakan utama yang akan dijerat, yakni subversi, terorisme, seruan atau kampanye pemisahan diri dari China, dan berkolusi dengan kekuatan asing untuk membahayakan keamanan nasional. Hukuman maksimum untuk keempat pelanggaran itu adalah penjara seumur hidup.

Sementara beberapa pelanggaran ringan akan menghasilkan pidana penjara kurang dari tiga tahun. Meski memperoleh penolakan keras dari masyarakat Hong Kong, tapi pemerintah menjamin bahwa UU itu hanya membidik kelompok minoritas. Hal itu pun dinyatakan telah berulang kali dinyatakan Pemerintah China sejak memperkenalkan rancangan undang-undang terkait lebih dari sebulan lalu.

“UU ini akan menjadi pedang tajam yang menggantung di atas minoritas orang yang membahayakan keamanan nasional. Tapi bagi sebagian penduduk Hong Kong, serta orang asing di kota tersebut, UU ini akan menjadi malaikat pelindung yang melindungi hak-hak mereka, kebebasan, dan cara hidup yang damai,” kata Kantor Dewan Negara untuk Urusan Hong Kong dan Makau dalam sebuah pernyataan, dikutip laman South China Morning Post.

Pemberlakuan UU Keamanan Nasional Hong Kong mendapat kritik luas di luar negeri. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan keputusan Partai Komunis China menerapkan UU Keamanan Nasional merusak otonomi Hong Kong. Dikutip dari AP, Hong Kong selama ini menunjukkan kepada dunia seperti apa bila warga China diberi kebebasan. Hong Kong dikatakannya pula sebagai salah satu kawasan ekonomi dan komunitas berwarna yang paling sukses di dunia.

"Tapi paranoia Beijing dan ketakutan mendengar aspirasi rakyatnya sendiri seperti membawanya keluar dari fondasi yang selama ini membuat Hong Kong berhasil. Yaitu dari Satu Negara Dua Sistem, ke Satu Negara Satu Sistem," katanya.

Anggota Dewan AS, Nancy Pelosi, mengatakan tujuan dari aturan hukum yang brutal ini adalah untuk menakuti, mengintimidasi dan menekan warga Hong Kong yang secara damai menyuarakan kemerdekaan yang mereka yang sebelumnya telah dijanjikan. "Kita terus mendorong Presiden Trump untuk menyerukan ke China agar pejabatnya bertanggung jawab atas penyiksaan yang dilakukan mereka termasuk di Hong Kong dengan menjatuhkan sanksi di bawah Magnitsky Act 2016 dan dengan memgambil langkah di bawah Akta HAM dan Demokrasi Hong Kong. Kita harus mempertimbangkan semua alat yang ada, termasuk limitasi visa dan penalti ekonomi," kata Pelosi.

Amerika Serikat mengutuk UU tersebut sebagai pelanggaran terhadap komitmen internasional Beijing. Pemerintah Presiden Donald Trump berjanji untuk terus bertindak terhadap pihak-pihak yang meredam kebebasan dan otonomi Hong Kong.

Washington yang telah berselisih dengan China mengenai perdagangan, Laut China Selatan, dan virus corona, mulai menghilangkan status khusus Hong Kong di bawah undang-undang AS pada Senin (29/6). Keputusan itu menghentikan ekspor pertahanan dan membatasi akses teknologi.

PM Inggris Boris Johnson akan melihat lebih dalam isis UU Keamanan Nasional tersebut. "Kami ingin mengeceknya seksama apakah ada konlik dengan Deklarasi Bersama antara Inggris dan China. Kami akan akan segera meresponsnya," kata dia.

Johnson mengatakan, China memilih untuk melanggar janjinya ke masyarakat Hong Kong dan menentang kewajibannya ke komunitas internasional. "Inggris tidak akan membalikkan badannya kepada komitmen yang telah dibuat ke masyarakat Hong Kong," ujar Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, di Twitter.

Dia menambahkan, Inggris akan membawa isu ini ke Komisi HAM PBB. Inggris dan sekitar puluhan negara Barat mendesak China untuk mempertimbangkan kembali UU itu. Beijing harus mempertahankan hak untuk berkumpul dan kebebasan pers.

photo
Para pengunjuk rasa berkumpul di sebuah pusat perbelanjaan di Central selama protes pro-demokrasi terhadap hukum keamanan nasional Beijing di Hong Kong, Selasa, 30 Juni 2020. Media Hong Kong melaporkan bahwa China telah menyetujui undang-undang yang kontroversial yang akan memungkinkan pihak berwenang untuk menindak aktivitas subversif dan separatis di Hong Kong, memicu kekhawatiran bahwa itu akan digunakan untuk mengekang suara oposisi di wilayah semi-otonom. - (AP/Vincent Yu)

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan China menjanjikan Hong Kong tidak akan berubah selama 50 tahun. Adopsi UU Keamanan Nasional disebutnya akan membuat publik tidak percaya pada komitmen China. "Kami kecewa China tidak bisa memenuhi janjinya, membuktikan Satu Negara Dua Sistem adalah pola yang tidak mungkin," katanya.

Kantor penghubung China di Hong Kong mengungkapkan UU Keamanan Nasional akan memberi dukungan kuat bagi kota tersebut untuk beralih dari kekacauan ke stabilitas. “Tidak seorang pun harus meremehkan tekad pemerintah pusat untuk menjaga keamanan nasional di Hong Kong,” katanya.

Dalam penerapannya UU Keamanan Nasional menjabarkan tiga keadaan di mana agen keamanan nasional baru China di Hong Kong dapat menggunakan yurisdiksi alih-alih mengandalkan mitra lokalnya, yakni komisi keamanan nasional. Keadaan tersebut antara lain kasus serius yang melibatkan situasi rumit dari intervensi asing, kasus yang tak dapat ditangani Pemerintah Hong Kong, dan situasi yang secara serius mengancam keamanan nasional.

Untuk kasus-kasus di mana China menjalankan yurisdiksi, agen mereka akan meluncurkan penyelidikan. Setelah itu Kejaksaan Agung Rakyat (jaksa penuntut negara) akan menugaskan otoritas penuntut yang relevan untuk mengambil alih penuntutan. Mahkamah Agung akan menugaskan pengadilan terkait untuk mengadili kasus-kasus itu.

“Hak-hak kami (sedang) diambil, kebebasan kami hilang, aturan hukum kami, independensi peradilan kami hilang,” kata Ted Hui, seorang legislator oposisi di Hong Kong, dikutip laman BBC.

Para aktivis Hong Kong berencana menggelar demonstrasi lanjutan untuk menentang UU Keamanan Nasional pada Rabu (1/7). Belum dapat dipastikan apakah mereka yang berpartisipasi dalam aksi tersebut dapat segera dijerat dengan UU Keamanan Nasional.

Sebab dalam aksi-aksi sebelumnya, massa kerap meneriakkan jargon-jargon seperti “bebaskan Hong Kong” dan boikot Partai Komunis Cina (PKC). Tak jarang ada di antara peserta aksi yang mengibarkan bendera Inggris.

Aksi pengibaran bendera itu merupakan respons historis atas Sino-Britis Joint Declaration yang ditandatangani mantan perdana menteri Cina Zhao Ziyang dan mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher pada Desember 1984. Di bawah kesepakatan itu, Inggris setuju menyerahkan kembali kendali atas Hong Kong kepada China.

Namun terdapat syarat-syarat menyertainya, seperti pemberian tingkat otonomi daerah yang tinggi dan mempertahankan hak-hak tertentu yang tidak diberikan di China daratan.

Disepakati pula bahwa Hong Kong akan melanjutkan sistem ekonomi kapitalis yang berbeda dengan model komunis China. Perjanjian itu berlaku untuk 50 tahun ke depan atau hingga 2047.

China mengesahkan Undang-Undang Keamanan Hong Kong yang akan menghukum kejahatan terkait kemerdekaan, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing dengan penjara seumur hidup. Laporan Reuters menggambarkannya sebagai aturan yang menandai era lebih otoriter bagi kota yang sebelumnya penuh kebebasan di bawah China.

Pengesahan UU Keamanan Nasional baru untuk Hong Kong pada Selasa (30/6) itu diprediksi memicu protes besar-besaran. Hong Kong akan menerjunkan ribuan petugas untuk membubarkan protes. Sejak kabar pemberlakuan peraturan baru dilaksanakan di Hong Kong mulai pukul 23.00, aktivis telah menyatakan penentangan dan melarang anjuran polisi. Hari ini mereka akan turun ke jalan.

Media lokal mengatakan, hingga 4.000 petugas akan dikerahkan untuk membubarkan protes. Aktivis terkemuka Joshua Wong dan kelompok pro-demokrasi lainnya mengatakan mereka akan bergerak.

"Kami tidak akan pernah menerima pengesahan undang-undang, meskipun sangat kuat," kata ketua Partai Demokrat, Wu Chi-wai

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters menunjukan, mayoritas warga di Hong Kong menentang undang-undang itu. Namun, dukungan untuk protes pun telah jatuh.

"Mari kita berharap tidak ada yang mencoba menguji undang-undang ini, karena konsekuensinya bagi individu dan sistem hukum tidak akan dapat diperbaiki," kata  profesor hukum di sekolah hukum Universitas Hong Kong dan seorang pengacara, Simon Young.

Parlemen China mengesahkan aturan tersebut pada Selasa yang akan memberi kewenangan besar bagi Beijing dan membuat perubahan radikal bagi kehidupan kota pusat keuangan global tersebut. Undang-Undang tersebut membuat Beijing lebih jauh bertentangan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan pemerintah Barat lainnya. Negara Barat menyatakan, UU itu telah mengikis tingkat otonomi tinggi yang diberikan kepada Hong Kong pada penyerahan 1 Juli 1997 oleh Inggris.

Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dalam sebuah pesan video kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di Jenewa, mendesak masyarakat internasional untuk menghormati hak negara untuk menjaga keamanan nasional.

Sementara Juru Bicara Kemenlu China, Zhao Lijian, mengatakan penerbitan UU Keamanan Nasional adalah urusan dalam urusan dalam negeri. "Negara asing tidak punya hak ikut campur," katanya.

Pemerintah China, dikatakannya, memiliki keinginan menjaga kepentingan dalam negerinya dalam hal kedaulatan nasional, keamanan, dan perkembangannya. "Kami ingin mengimplementasikan Satu Negara Dua Sistem dan melawan kekuatan eksternal yang mengganggu di Hong Kong."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement