REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dipastikan ditarik dari program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. DPR saat ini memilih melanjutkan pembahasan RUU P-KS ke tahun depan.
"Sebetulnya Komisi VIII tidak menarik RUU PKS dalam Prolegnas," Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzilly kata Ace saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (1/7). Ace menjelaskan, Komisi VIII melakukan melakukan revisi atas usulan Prolegnas dengan memprioritaskan pembahasan RUU Kesejahteraan Lanjut Usia sebagaimana usulan awal Komisi VIII DPR RI.
Berdasarkan surat dari Komisi VIII ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bernomor LG/19375/DPR RI/XI/2011 tertanggal 27 November 2019 yang diperoleh, terdapat tiga RUU yang diusulkan Komisi VIII menjadi prioritas 2020. Yakni RUU Penanggulangan Bencana, RUU Kesejahteraan Lanjut Usia, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Namun, kata Ace, RUU Kesejahteraan Lanjut Usia yang merupakan usulan kedua, saat itu tak dimasukkan Baleg dalam RUU Prioritas 2020. Justru, usulan ketiga, yakni RUU P-KS masuk ke prioritas.
Maka itu, lanjut Ace, Komisi VIII dalam rapat Baleg pada Selasa 30 Juni 2019 ingin agar RUU Kesejahteraan Lanjut Usia dimasukkan dalam RUU Prioritas 2020. Komisi VIII DPR RI mengusulkan prioritas pembahasan itu antara lain RUU Penanggulangan Bencana & RUU Kesejahteraan Lanjut Usia tetap pada 2020.
"RUU Kesejahteraan Lanjut Usia ini tidak dimasukkan dalam Prolegnas oleh Baleg. Dalam rapat kemarin, kami mengusulkan kembali RUU Kesejahteraan Lanjut Usia ini untuk dibahas lebih awal," ujar Ace.
Terkait RUU P-KS, Politikus Golkar ini tak banyak berbicara. Namun, ia membenarkan bila RUU P-KS ini akan dilanjutkan dibahas pada tahun 2021 mendatang.
Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Selasa (30/6) kemarin menyebutkan sejumlah RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas tahun 2020. Salah satu yang dicabut adalah RUU P-KS.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengonfirmasi adanya sejumlah RUU yang dimundurkan pembahasannya pada 2020. Salah satunya merupakan RUU P-KS yang diusung oleh Komisi VIII DPR RI.
"Tentang P-KS, Itu bukan didrop sih, karena tidak selesai sampai Oktober, maka dipindahkan jadi Prolegnas tahun 2021," kata Willy saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.
Meski mendapat dorongan dari berbagai pihak, terutama aktivis perempuan, sejak periode lalu RUU P-KS tak kunjung tuntas. Perbedaan pandangan hingga permasalahan sinkronisasi dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disebut menjadi alasan utama RUU itu tak bergerak maju.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyesalkan penarikan RUU P-KS. Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengkritik alasan bahwa pembahasan RUU ini sulit. "Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberilan keadilan bagi korban," kata dia saat dihubungi, Rabu (1/7).
Bahrul mengingatkan, korban kekerasan seksual setiap harinya makin bertambah. Tanpa kepastian mendapatkan keadilan, pemulihan dan kepastian tidak terjadinya keberulangan terjadinya Kekerasan Seksual menjadi sulit.
Jika tidak sanggup, kata Bahrul, solusinya bukan Menarik RUU P-KS dari prolegnas tapi lebih bekerja keras untuk memenuhi janji janjinya pada tahun 2019 yang akan menjadikan RUU PKS sebagai prioritas pembahasan.
Setidaknya, kata dia, pembahasan RUU P-KS dapat dialihkan ke alat kelengkapan DPR seperti Baleg yang bisa membahasnya secara lebih komprehensif.
"Kami meminta perhatian pimpinan DPR untuk juga memenuhi janjinya untuk menjadikan RUU PKS sebagai bentuk hadirnya negara terhadap korban," kata Bahrul menegaskan.
Komnas Perempuan mengidentifikasi setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual pada perempuan. Yaitu pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemakasaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuasa seksual yang membahyakan dan mengintimidasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tiap tahun kasus kekerasan seksual pada perempuan bertambah. Bahkan dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau hampir delapan kali lipat. Selama 12 tahun tercatat 431.471 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan hingga akhir tahun 2019.
Sejak pertama bergulir, RUU P-KS ditolak oleh sejumlah komunitas. Salah satu adalanya PP Persistri atau Pimpinan Pusat Persatuan Islam Istri. Dalam wawancara yang dikutip Republika, Juli 2019, Ketua Umum PP Persistri, Lia Yuliani, menuturkan, RUU P-KS banyak bersinggungan dengan aturan hukum keluarga yang di dalam Islam merupakan hak Allah.
Ia mencontohkan, orang tua dapat dipidanakan jika memaksa anaknya menikah meski sang anak sudah dipandang memiliki hubungan atau pacar yang berlebihan. Contoh lainnya, lanjut Lia, yakni aturan di mana suami atau istri yang melakukan tindakan non-fisik seperti siulan, kedipan mata, memberi ucapan, komentar yang bernuansa sensual, ajakan, atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual. Tindakan ini dapat dipidanakan jika tanpa persetujuan atau kehendak korban.
Demikian pula, aturan terkait suami yang berhubungan dengan istrinya tanpa persetujuan istrinya itu. Dalam hal ini, suami yang bersangkutan dapat diancam dengan hukuman pidana. "(Hal ini) mendegradasikan bahkan merusak lembaga perkawinan," kata dia.
Lia menjelaskan, bentuk merusaknya yaitu karena RUU tersebut menganut pemenuhan hasrat seksual yang mengikuti kehendak seseorang. Padahal, Islam mengatur pemenuhan hasrat seksual hanya boleh melalui perkawinan.
RUU P-KS, ujar Lia, dalam keterangannya, juga merusak pernikahan karena membolehkan hubungan seksual dengan persetujuan, meski tidak menikah dan bahkan meski sesama jenis. Apalagi, RUU ini juga menganggap bahwa suatu hubungan seksual yang berlandaskan persetujuan dalam kondisi tidak menikah adalah bukan bentuk perkosaan.
Karena itu, Persistri menolak RUU PKS jika tidak dilakukan kajian yang komprehensif terhadap rumusan pasal-pasal yang multitafsir dan bertentangan dengan aturan hukum keluarga dalam agama dan Pancasila. "Persistri meminta agar pemerintah segera menetapkan terlebih dulu KUHP Nasional supaya diketahui aturan tentang perzinahan sebagai genusnya," ujarnya.