REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Rr Laeny Sulistyawati
Perawat yang bekerja kala pandemi memiliki risiko terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19, khususnya di daerah dengan laju kasus tinggi seperti Jawa Timur (Jatim). Pada hari ini, DPW Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim mengumumkan lagi satu perawat gugur bernama Sulastri yang selama ini bertugas di Rumah Sakit Islam (RSI) di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.
Ketua DPR PPNI Jatim Prof. Nursalam mengungkapkan, dengan meninggalnya Sulastri, hingga saat ini ada 11 perawat di Jawa Timur yang meninggal akibat terpapar Covid-19. Sementara total perawat yang terpapar Covid-19 di Jatim sebanyak 146 orang.
"Iya yang bersangkutan meninggal positif Covid-19. Total perawat terkonfirmasi positif ada 146 orang. Sementara perawat yang meninggal akibat Covid-19 ada 11 orang," ujar Nursalam dikonfirmasi Republika, Rabu (1/7).
Nursalam mengungkapkan, hingga saat ini santunan untuk perawat Covid-19 yang meninggal di Jatim belum juga cair. Padahal, kata dia, pemerintah menjanjikan perawat Covid-19 yang meninggal bakal dapat santunan.
"Termasuk yang meninggal itu kan akan diberi santunan. Sekarang kan ada perawat yang meninggal tapi belum selesai juga, belum dapat. Prosedurnya terus bagaimana? Padahal administrasinya sudah lengkap," kata Nursalam, Selasa (30/6).
Selain santunan, kata Nursalam, pembayaran insentif dari pemerintah untuk perawat Covid-19 juga lambat. Di Jatim, kata dia, hingga saat ini, baru 30 persen tunjangan untuk perawat yang cair. Padahal, kata dia, hampir seluruh rumah sakit di Jatim telah melengkapi syarat administrasi dan mengajukan pembayaran insentif tersebut.
Nursalam mengungkapkan, sulitnya pencairan insentif untuk perawat tersebut, karena prosedur yang sangat rumit dan panjang. Di mana rumah sakit, kata dia, harus terlebih dahulu mengajukan ke dinas kesehatan kabupaten/ kota. Setelah lolos verifikasi di dinas kesehatan kabupaten/ kota, masih harus melakukan proses yang sama ke dinas kesehatan provinsi.
Tidak hanya sampai di situ, setelah verifikasi di tingkat provinsi, baru akan dilanjutkan untuk dilakukan verifikasi serupa di tingkat Kementerian Kesehatan. Setelah itu, kata dia, masih ada tahapan-tahapan rumit lainnya yang harus dilewati, sebelum uang insentif masuk ke rekening pribadi perawat.
"Pengajuan itu sudah lengkap dari rumah sakit masing-masing. Tapi itu kan prosedurnya harus melewati macem-macem kan. Ruwet sekali. Sehingga kemarin katanya menteri (kesehatan) akan memangkas birokrasi itu. Karena itu kan tidak bisa dieksekusi langsung," ujar Nursalam.
Pemerintah juga diminta memperhatikan perawat atau tenaga kesehatan yang statusnya honorer atau kontrak. Karena, kata dia, insentif yang tersedia saat ini, hanya untuk tenaga perawat yang statusnya pegawai negeri sipil atau ASN.
"Itu kan (insentif) untuk tenaga perawat yang PNS yang ASN. Tapi bagaimana untuk perawat-perawat yang honorer yang kontrak. Itu juga kan juga harus jadi catatan kita. Relawan-relawan yang dapat gaji seadanya juga. Itu harus jadi catatan pemerintah agar mereka juga dapat insentif karena bebannya sama berat. Mininal enggak sama, tapi mendapatkan lah jangan sampai tidak," kata dia.
Nursalam mengingatkan, seorang perawat memiliki risiko lebih tinggi terpapar Covid-19 dibanding tenaga kesehatan lainnya. Pasalnya, intensitas kontak perawat dengan pasien Covid-19 lebih tinggi. Di mana perawat lah yang harus memenuhi seluruh kebutuhan pasien selama 24 jam.
"Perawat bekerja 24 Jam memenuhi kebutuhan pasien A sampai Z. Membantu semua tindakan mulai buang air besar dan kecil. Berarti risiko untuk tertular lebih tinggi. Ini bisa menjadi catatan," ujarnya.
Nursalam juga meminta tes swab PCR secara berkala minimal 14 hari sekali untuk para perawat. Kemudian menurutnya, perlu penyediaan sarana prasana dan kelengkapan APD, termasuk pengawasan bagi perawat yang bertugas.
"Yang juga perlu saya advokasi adalah pemenuhan kebutuhan dasar terutama dari segi kesehatan, nutrisi, istirahat, vitamin tolong dipenuhi," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak) menilai aturan pemerintah terkait pencairan insentif untuk para tenaga kesehatan (nakes) yang menangani virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) berbelit-belit. Padahal, nakes membutuhkannya untuk menggerakkan roda ekonomi.
"Aturan pencairan insentif untuk nakes Covid-19 berbelit-belit. Misalnya harus ada absen, bukti, menolong orang-orang yang terinfeksi Covid-19," ujar Juru Bicara Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak) Koesmedi saat dihubungi Republika, Selasa (30/6).
Padahal, dia melanjutkan, jika di sebuah rumah sakit (RS) antara orang yang terinfeksi Covid-19 dengan pasien penyakit lainnya tetapi saat awal masuk fasilitas kesehatan tersebut pasti diduga orang itu lasien Covid-19, kemudian dia baru menjalani tes untuk memibuktikan bukan Covid-19.
"Padahal nakes ini kan juga kerja (menangani terduga Covid-19). Artinya apa perlu dibuktikan itu," katanya.
Tak heran, ia menyebutkan Presiden Joko Widodo sampai marah karena insentif untuk nakes yang tangani Covid-19 tak kunjung cair. Artinya, dia melanjutkan, ini menjadi masalah besar dan menjadi krisis yang mencemarkan dan menakutkan.
Apalagi, dia melanjutkan, para nakes yang menangani Covid-19 sudah bekerja sejak Mei, Juni, Juli dan ketika insentifnya belum dibayar maka ini bisa menyulitkan nakes.
"Sudah kerjanya berat, fasilitasnya tidak ada. Kan itu buat pusing," katanya.
Sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) angkat bicara mengenai penyebab terlambatnya pencairan dana insentif untuk para nakes, termasuk perawat. Keterlambatan itu merupakan efek dari terlambatnya usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah.
"Keterlambatan pencairan dana dikarenakan terlambatnya usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah. Hal itu terjadi karena usulan tersebut harus diverifikasi di internal fasilitas pelayanan kesehatan kemudian dikirim ke Kementerian Kesehatan," ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kemenkes Abdul Kadir saat dihubungi Republika, Senin (29/6).
Ia mengakui, alurnya terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu untuk proses transfer ke daerah. Selain itu, Kadir menyebutkan keterlambatan pembayaran juga disebabkan antara lain karena lambatnya persetujuan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).