REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte mengusulkan sejumlah hal jika sistem pemilihan umum diubah menjadi proporsional tertutup. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang tentang Partai Politik.
"Sistem proporsional tertutup hendaknya diikuti dengan merevisi UU partai yang memastikan adanya demokratisasi dan transparansi dalam pencalonan caleg," ujar Philips dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR, Rabu (1/7).
Opsi lain untuk perbaikan sistem proporsional, yakni mendorong pemilu pendahuluan atau konvensi khusus. Untuk menentukan posisi dalam daftar partai. Selain itu, perlu adanya peraturan yang lebih ketat tentang penempatan kader perempuan. Harus ada persyaratan bagi partai untuk tidak hanya menempatkan perempuan di antara tiga teratas.
"Tetapi di tingkat pertama atau kedua. Hanya segelintir partai memeroleh tiga kursi di sebuah daerah pemilihan, kebanyakan memeroleh maksimal satu atau dua," ujar Philips.
Tetapi, sistem proporsional tertutup akan menimbulkan satu permasalahan, yakni adanya oligarki di partai politik. Untuk itu diperlukannya revisi Undang-Undang tentang Partai Politik. Sistem proporsional terbukan juga memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya adalah melemahkan partai dan kaderisasi dalam sistem terbuka.
"Karena kampanye caleg akan mengedepankan faktor personal caleg dibandingkan faktor partai. Identitas partai melemah, representasi partai melemah," ujar Philips.
Diketahui, Komisi II DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan para pakar terkait penyusunan draf revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ditargetkan dapat diselesaikan paling lambat pada pertengahan 2021.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan, pihaknha telah sepakat bahwa RUU Pemilu harus dirampungkan di awal periode. Menurutnya, Komisi II akan memiliki cukup banyak waktu untuk menyosialiasikan UU Pemilu yang baru apabila diselesaikan pada 2021.
"Kami ingin UU Pemilu ini tidak kita bahas lima tahun sekali. Kami mencoba agar UU ini berlaku paling tidak 15 hingga 20 tahun ke depan sehingga tidak trial and error terus," ujar Doli.