Rabu 01 Jul 2020 23:00 WIB

UI Usulkan Upaya Mitigasi Saat Sekolah Kembali Dibuka

Pembukaan kembali sekolah merupakan keputusan yang kompleks.

Rep: Rusdi Nurdiansyah/ Red: Muhammad Hafil
UI Usulkan Upaya Mitigasi Saat Sekolah Kembali Dibuka. Foto: Suasana simulasi kegiatan belajar mengajar di Sekolah Nasional Satu (Nassa School) di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (24/6/2020). Pihak sekolah mulai mempersiapkan protokol kesehatan dengan membatasi jumlah siswa dan penggunaan teknologi sinar ultraviolet  untuk membersihkan ruang kelas menuju tatanan normal baru di tengah pandemi COVID-19.
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
UI Usulkan Upaya Mitigasi Saat Sekolah Kembali Dibuka. Foto: Suasana simulasi kegiatan belajar mengajar di Sekolah Nasional Satu (Nassa School) di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (24/6/2020). Pihak sekolah mulai mempersiapkan protokol kesehatan dengan membatasi jumlah siswa dan penggunaan teknologi sinar ultraviolet untuk membersihkan ruang kelas menuju tatanan normal baru di tengah pandemi COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Universitas Indonesia (UI) melalui Southeast Asian Ministry of Education Organization-Regional Center for Food and Nutrition (Seameo Recfon) atau Pusat Kajian Gizi Regional UI meluncurkan policy brief terkait pembukaan kembali aktivitas sekolah di Indonesia. Diseminasi rekomendasi kebijakan tersebut dilakukan pada webinar yang berjudul, "Pembukaan Kembali Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah: Pertimbangan Kesehatan, Pendidikan, dan Psikologi Perkembangan Anak" yang terselenggara atas kerja sama Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP UI) dengan Seameo Recfon pada Rabu (1/7).

Wakil Rektor UI Bidang Riset dan Inovasi, Prof. Dr. rer. nat. Abdul Haris mengatakan, di awal 2020, pandemi Covid-19 memaksa banyak negara untuk melakukan pembatasan sosial, baik penutupan kegiatan bisnis dan maupun kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Penutupan kegiatan belajar sekolah ini perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat pemutusan mata rantai penularan Covid-19.

Baca Juga

Sekitar tiga bulan lamanya, anak-anak belajar di rumah dengan variasi kegiatan yang terbatas. Jelang dibukanya tahun ajaran baru, opini publik mulai bergulir. Ada yang setuju, namun tidak sedikit pula yang menyangsikan pembukaan sekolah. Kekhawatiran mengenai tindakan pencegahan yang bisa dilakukan saat anak berada di sekolah membuat sebagian besar orangtua masih ada yang berharap bahwa metode pembelajaran jarak jauh tetap dilakukan.

"Pembukaan kembali sekolah merupakan keputusan yang kompleks dan membutuhkan banyak pertimbangan dan keahlian. Oleh sebab itu, UI melalui Pusat Kajian Gizi Regional UI berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dengan mengadakan diseminasi yang menghadirkan para penyusun policy brief dan penyampai materi yang dapat memberikan kontribusi UI berupa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah, terkait pembukaan sekolah kembali di Indonesia," papar Abdul.

Diseminasi policy brief dipaparkan langsung oleh tim penyusun yaitu, dr. Grace Wangge, Ph.D. (Seameo Recfon.atau Pusat Kajian Gizi Regional UI) dan dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI) serta diisi oleh para penanggap yaitu, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. (Direktur Pembinaan Sekolah Dasar, Kemendikbud RI), Prof. Dr. H. Juntika Nurihsan, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia), Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi. (Fakultas Psikologi UI), serta dimoderatori oleh Direktur DISTP UI, Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP, Ph.D.

Dalam paparannya, tim penyusun menjelaskan bahwa upaya pembatasan jarak fisik pada kelompok usia ini seringkali berfokus pada penutupan sekolah yang secara tidak langsung juga memiliki dampak di luar risiko kesehatan yang harus dimitigasi secara paripurna. :Ada kekhawatiran besar pada orangtua siswa mengenai risiko kesehatan anak-anak mereka ketika sekolah dibuka kembali, sedangkan perhatian terhadap upaya intervensi selain penutupan sekolah masih sangat terbatas," jelas Grace.

Lanjut Grace, masalah gizi anak pada pandemi Covid-19 menjadi salah satu isu yang berkembang ketika berbagai fasilitas publik ditutup. Seperti yang kita ketahui, fasilitas Posyandu dan fasilitas yang berbasis promotif dan preventif di sekolah juga ikut ditutup.

Pada jangka panjang hal ini dapat berpotensi menurunkan pola konsumsi gizi seimbang yang dapat dibentuk sejak usia sekolah dan menempatkan anak pada risiko gangguan nutrisi jangka panjang. Indonesia telah memiliki Program Gizi Anak Sekolah (ProGAS) yang telah diluncurkan di 39 kabupaten sejak 2018 dan berhasil mengubah pola baik konsumsi makanan gizi seimbang dari 24,7 persen menjadi 47,7 persen.

"Perlambatan ekonomi sebagai dampak Covid-19 juga bisa mempengaruhi status gizi anak. Untuk itu, kami merekomendasikan agar pembukaan kembali aktivitas sekolah dapat dilakukan secara bertahap. Tentunya dengan dukungan kolaborasi lintas sektoral (kesehatan dan pendidikan)," paparnya.

Apabila pemerintah memutuskan untuk membuka aktivitas sekolah, diharapkan dapat dilakukan secara bertahap dengan menerapkan metode. "Menggilir siswa yang masuk ke sekolah (Rotasi antar kelas/tingkatan atau Setengah kelas atau Pekan on-off). Tidak melakukan kegiatan ekstrakurikuler (mencakup acara pementasan, olahraga bersama, upacara bendera, field trip, dan kegiatan sosial lain dalam jumlah massa); Pengaturan arus masuk dan keluar sekolah (Jam masuk bergilir, aturan jarak fisik untuk penjemput, menekan jumlah penggunaan bus/kendaraan antar jemput); Dukungan nutrisi dan bantuan sosial nutrisi anak usia sekolah; dan Membawa Bekal Bersama di dalam kelas," tutur Grace.

Tim penyusun, lanjut Grace juga memberikan daftar rekomendasi untuk Pemda, yaitu, siapkan protokol kesehatan level kabupaten (Protokol kesehatan harus disusun sebelum sekolah memulai kembali aktivitas dan didiseminasikan kepada seluruh siswa dan orangtua), memperkuat sarana penunjang (UKS, alat disinfeksi dan kebersihan, layanan hotline yang dapat diakses orangtua, dan sistem informasi yang tersambung ke Dinas Pendidikan, Puskesmas, dan Dinas Kesehatan), monitoring dan evaluasi (Seluruh upaya intervensi pembukaan kembali aktivitas sekolah ini harus dipantau dan dievaluasi secara ketat dengan kolaborasi antara sekolah, Dinas Pendidikan, Puskesmas, dan Dinas Kesehatan kota/kabupaten).

Dalam kesempatan yang sama, tim penyusun juga mengapresiasi Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri) terkait Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di masa pandemi Covid-19 yang memutuskan tahun ajaran baru tetap dibuka pada Juli 2020, meski Indonesia masih berada dalam pandemi Covid-19. "Selain itu, masyarakat, khususnya para guru dan orangtua, diharapkan dapat mempelajari Buku Saku Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di masa pandemi Covid-19," terang Grace.

Dalam uraiannya, dr. Ahmad Fuady menuturkan, imbas dari penutupan sekolah menyebabkan pelandaian kurva pembelajaran siswa. Pembelajaran jarak jauh berpotensi melebarkan kesenjangan pencapaian antar status sosial dan meningkatkan potensi anak putus sekolah. Menurut riset, efek menutup sekolah menekan 2-4 persen sebaran infeksi, dan data menunjukkan bahwa rata-rata kasus anak 1-5 persen total kasus Covid-19, di mana di Indonesia ada pada rate 6 persen total kasus dengan mayoritas anak yang terinfeksi dengan gejala ringan.

"Maksud kami bukan mengecilkan risiko Covid-19 terhadap anak, namun mari bersama-sama memitigasi risiko ketika membuka kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah, agar capaian belajar dapat tetap terpenuhi dan anak-anak dapat tetap sehat," pungkasnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement