REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan peringatan kepada perusahaan negaranya tentang risiko yang akan dihadapi dari hubungan perdagangan di provinsi Xinjiang, China, Rabu (1/7). Pernyataan ini merupakan upaya lanjutan Washington menekan China atas perilaku terhadap Muslim Uighur dan Undang-Undang Keamanan Nasional baru Beijing untuk Hong Kong.
Rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS, Departemen Keuangan, Perdagangan, dan Keamanan Dalam Negeri. Isi dari peringatan itu meminta perusahaan yang melakukan bisnis di Xinjiang atau dengan entitas yang menggunakan tenaga kerja Xinjiang menghadapi risiko reputasi, ekonomi, dan hukum dari pelanggaran hak asasi manusia termasuk kerja paksa, penahanan massal, dan sterilisasi paksa.
"Para CEO harus membaca pemberitahuan ini dengan seksama dan mengetahui risiko reputasi, ekonomi, dan hukum dari mendukung serangan semacam itu pada martabat manusia," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan sebelumnya telah menahan pengiriman produk rambut dan aksesori yang berasal dari Xinjiang. Pengiriman ini diduga sebagai produk kerja paksa yang dibuat dengan rambut manusia.
Produk-produk bagian dari pengiriman hampir 13 ton produk rambut senilai lebih dari 800 ribu dolar AS ini mengindikasikan potensi pelanggaran hak asasi manusia atas pekerja anak dan pemenjaraan. "Produksi barang-barang ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius," ujar Pejabat senior Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan, Brenda Smith.
Smith menjelaskan perintah penahanan dimaksudkan untuk mengirim pesan yang jelas dan langsung ke semua entitas yang ingin melakukan bisnis dengan AS. Negara itu akan dengan tegas menolak praktik-praktik ilegal dan tidak manusiawi.
Departemen Perdagangan AS bulan lalu menambahkan tujuh perusahaan dan dua lembaga ke dalam daftar hitam ekonomi. Keputusan ini didorong dengan terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran yang dilakukan dalam kampanye penindasan China, penahanan sewenang-wenang massal, kerja paksa, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap warga Uighur.
Duta Besar Cina untuk AS di Jenewa, Chen Xu, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia bahwa Beijing dengan tegas menolak tuduhan tidak berdasar terhadap China tentang masalah Hong Kong dan Xinjiang. Dia menyatakan tuduhan itu dibuat oleh beberapa negara karena motif politik.