REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyatakan bahwa sosialisasi perihal kebijakan kantong plastik Pemprov DKI Jakarta khusus di pasar tradisional belum optimal. Pedagang belum mendapatkan informasi jelas perihal keharusan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
"Kami mendorong kepada Pemprov agar melibatkan pedagang pasar atau kelompok-kelompok pedagang pasar atau ketua-ketua blok pasar untuk ikut membantu menyosialiasikan kepada anggota-anggota di bloknya. Ini supaya lebih efektif," kata Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, Kamis (7/2).
Pemprov DKI diketahui mulai menerapkan Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.
Ikappi menilai pedagang belum mendapatkan informasi yang lebih detail dan utuh tentang sosialisasi dan edukasi tersebut. Setidaknya diperlukan edukasi pada dua hal, yakni edukasi tentang pentingnya mengetahui bahaya penggunaan kantong plastik dan sosialisasi pergub tersebut.
"Pelibatan pedagang dalam setiap kebijakan pemprov itu menjadi kunci keberhasilan program itu dilaksanakan," kata Mansuri.
Selain itu, kata dia, Ikappi juga meminta kepada Pemprov DKI untuk mencari solusi alternatif atas pergantian kantong plastik. Jika menggunakan tas belanja yang bisa digunakan berkali-kali, pihaknya mendorong agar Pemprov DKI bisa meningkatkan produk UMKM daerah dengan meningkatkan produksi tas-tas daur ulang.
"Kami meminta kepada pemprov untuk menyiapkan kantong alternatif untuk jenis barang dagangan yang mudah basah atau barang dagangan tertentu," kata dia.
Oleh karena itu, untuk sementara waktu pihaknya meminta Pemprov DKI tetap mengizinkan pedagang masih memakai plastik-plastik kecil untuk beberapa komoditas dagangan tertentu yang dalam bentuk basah. Serta beberapa komoditas yang tidak memungkinkan di jadikan satu dengan tas belanjaan, sampai ada alternatif kantong belanjaan yang tepat sesuai kebutuhan.
"Sosialisasi dalam pergub tersebut seyogianya tidak hanya kepada pedagang, tetapi juga masyarakat. Dan yang jauh lebih penting libatkan pedagang dan lakukan secara bertahap tanpa ada intimidasi maupun ancaman atas kebijakan tersebut," kata dia.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, kebijakan pengurangan penggunaan kantong plastik harus didukung oleh kesiapan pengusaha kecil secara bertahap dan ketersediaan produk alternatif pada konsumen untuk memastikan efektivitas kebijakan.
Kantong plastik merupakan bahan yang banyak digunakan dalam pengemasan makanan. Selain praktis dan mudah didapatkan, harganya juga relatif lebih murah. Karena harganya yang murah dan mudah didapatkan, pengemasan makanan dengan menggunakan kantong plastik banyak dipilih oleh mayoritas pengusaha, termasuk UMKM, dan penjual makanan berskala kecil.
Penggunaan kantong plastik dianggap dapat menekan biaya produksi karena mereka harus beradaptasi dengan fluktuasi harga pangan yang merupakan bahan baku utama produknya.
Namun, di sisi lain plastik juga berkontribusi pada permasalahan lingkungan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, sebanyak 14 persen di antaranya merupakan sampah plastik.
Data dari riset oleh Jambeck pun menunjukkan Indonesia mempunyai peringkat rendah limbah plastik harian per orang (0,06 kg) jika dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (0,2kg) dan Singapura (0,19 kg), namun Indonesia merupakan negara kedua penghasil limbah salah urus di dunia (global mismanaged waste) dengan tingkat 10,1 persen.
“Menyikapi hal ini, pemerintah perlu merumuskan sebuah kebijakan yang dapat diadopsi oleh berbagai pihak, misalnya bagaimana UMKM atau pengusaha kecil bisa mendapatkan material alternatif untuk pengemasan makanan dan bagaimana konsumen bisa mendapatkan haknya atas makanan yang aman, higienis dan dikemas dengan layak,” jelas Ira.