REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada Kamis menunjukkan sinyal pemerintahannya kemungkinan akan mengikuti jejak Inggris menawarkan visa ke warga Kota Hong Kong. Hal itu dilakukan setelah China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Baru di wilayah semi otonom itu.
Pemerintah Inggris mengatakan pihaknya mengizinkan warga Hong Kong pemegang paspor BNO (British National Overseas Status) beserta keluarganya untuk tinggal dan bekerja di Inggris selama lima tahun. Kemudian mereka juga dapat mengajukan kewarganegaraan.
Sekitar tiga juta warga Hong Kong merupakan pemegang paspor BNO dan berhak mengajukan kepemilikan paspor khusus itu. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Rabb ke parlemen mengatakan ia telah membahas masalah itu dengan negara lain yang punya hubungan dekat dengan Kota Hong Kong.
Morrison pada Kamis mengatakan situasi yang terjadi di Hong Kong saat ini memprihatinkan dan Pemerintah Australia "mempersiapkan diri untuk maju dan memberi dukungan".
Saat ditanya apakah Australia akan memberi suaka untuk warga Hong Kong sebagaimana dilakukan Inggris, Morrison menjawab, "Kami sangat mempertimbangkan usulan yang telah saya sampaikan beberapa minggu lalu, dan ada beberapa pertimbangan akhir akan ditambahkan, usulan bahwa mereka akan diberikan kesempatan sama akan dibahas oleh Kabinet".
Morrison tidak menjelaskan lebih lanjut usulan tersebut. Parlemen China memberlakukan UU Keamanan Nasional yang akan memidana aksi makar dan subversi. Beleid itu ditetapkan setelah ribuan warga Hong Kong berunjuk rasa memprotes Pemerintah China pada tahun lalu.
Pengunjuk rasa menilai Beijing meredam kebebasan Hong Kong, yang sebenarnya dijamin oleh prinsip "satu negara, dua sistem". Prinsip tersebut berlaku di Hong Kong saat kota itu dikembalikan oleh Inggris ke China pada 1 Juli 1997.
Hubungan Australia dan China merenggang setelah Canberra mendesak penyelidikan internasional terhadap asal mula virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19.
Covid-19 merupakan penyakit menular yang telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret 2020. Menteri Pertahanan Australia Linda Reynolds lewat pidatonya, Kamis, mengatakan kawasan menghadapi penyusunan kembali strategi pembagian kekuasaan sejak akhir Perang Dunia Kedua.
"Negara-negara meningkatkan penggunaan taktik memaksa yang nyaris mendekati konflik bersenjata, serangan siber, campur tangan asing, dan tekanan ekonomi untuk memanfaatkan ruang kosong antara situasi damai dan perang," kata dia saat memberikan sambutan di Australian Strategic Policy Institute.
Canberra berencana meningkatkan belanja sektor pertahanan sampai 40 persen jadi 270 miliar dolar Australia (sekitar Rp2.675 triliun) pada 10 tahun mendatang. Dana itu diperuntukkan untuk menguatkan pertahanan di wilayah Indo-Pasifik.