REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata mengkhawatirkan kasus pemotongan bantuan langsung tunai (BLT) di beberapa daerah. Pasaslnya, upaya pemotongan itu menjadi pintu masuk terjadinya vote buying atau pembelian suara pemilih dalam Pilkada 2020. Pilkada di tengah pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor meningkatnya politik uang.
"Kami dari SPD khawatir ketika ada pemotongan BLT, dan itu terjadi kekisruhan, itu menjadi pintu masuk bagi kandidat melakukan politik uang," ujar Dian dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?', Kamis (2/7).
Dia juga memaparkan hasil survei terkait vote buying di daerah yang menggelar Pilkada 2020. SPD menyamarkan daerah tersebut menjadi tiga yakni Sumatera, Jawa, dan Kalimantan agar tidak dijadikan rujukan kandidat, tim sukses (timses), atau konsultan pemenangan menjadikan politik uang sebagai salah satu programnya mendulang suara pemilih.
Dian menuturkan, sebanyak 60 persen dari total 440 responden di tiga pulau itu menyatakan akan menerima penawaran uang dari kandidat, timses, atau tim pemenangan. Dia memerinci, orang yang akan menerima vote buying di Sumatera mencapai 62,95 persen, Jawa 60 persen, dan Kalimantan sebesar 64,77 persen.
Selanjutnya, dari 60 persen responden yang menyatakan akan menerima vote buying dari para calon, lebih memilih uang dibandingkan barang. Responden di Sumatera yang memilih uang sebanyak 64,26 persen, Kalimantan 67,72 persen, serta Jawa mencapai 76,14 persen.
Bahkan, saat para responden itu ditanya lagi terkait pilihan besaran nominal vote buying, sebanyak 53,37 persen responden di Sumatera menerima uang kisaran Rp 51 ribu sampai Rp 100 ribu. Sementara, responden di Kalimantan sebesar 39,9 persen dan Jawa sebanyak 64,18 persen lebih memilih besaran vote buying di atas Rp 100 ribu.
"Harganya sudah lebih dari Rp 100 ribu. Kita makin tahu besaran berapa uang yang beredar ketika puncak dari pilkada serentak yang akan datang," kata Dian.
Dian mengatakan, dari 60 persen responden yang akan menerima vote buying, 34 persen di antaranya beralasan bahwa politik uang merupakan rejeki yang tidak boleh ditolak. Alasan seperti ini tertinggi di ketiga pulau tersebut dan muncul juga dalam beberapa riset sebelumnya.
"Jadi (alasan) tidak pernah bergeser. Jadi politik uang itu sebuah rejeki yang tidak boleh ditolak atau bahasa Sundanya itu pamali ditolak," kata Dian.
Selain itu, lanjut Dian, alasan mereka menerima vote buying adalah uang tersebut sebagai pengganti karena saat hari pemungutan suara tidak bekerja. Kemudian, mereka mengaku uang dari kandidat dapat menambah kebutuhan dapur atau keperluan sehari-hari.
Dian menambahkan, riset soal vote buying tersebut dilakukan pada medio Januari sampai Maret 2020, sebelum pandemi Covid-19 dinyatakan terjadi di Indonesia.