REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Taufik Damas Lc
Jawabannya sudah tentu tidak boleh. Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermazhab, tapi sejatinya mereka bermazhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermazhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama.
Mereka sholat pakai mazhab, puasa pakai mazhab, haji pakai mazhab, dan seterusnya. Ketika ditanya ikut mazhab siapa, mereka tidak bisa menjawab. Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama.
Salahkah mereka? Tidak. Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah. Meski demikian, seharusnya setiap Muslim tahu dari siapa (imam mazhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya, mengikuti mazhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar.
Muslim model begini tidak boleh jadi seperti ustaz, kiai, ulama, atau tokoh agama. Karena, untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, orang harus mengerti soal bermazhab dalam beragama. Bisa menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermazhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah.
Mazhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi. Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, ulama mazhab dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini.
Jadi tidak bisa Anda beragama kemudian mengaku guru Anda adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari.
Para ulama sepakat akan pentingnya bermazhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermazhab adalah kemungkaran.
Dalam kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w 1176 H.) menyatakan: “Ketahuilah bahwa bermazhab (pada salah satu dari empat mazhab) adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan mazhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.” Pernyataannya ini didasari beberapa alasan:
1. Semua ulama sepakat bahwa untuk mengetahui syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Tabiin berpegang teguh pada para sahabat. Tabiit-tabiin berpegang teguh pada para tabiin. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Ini masuk akal, karena Syariat tidak bisa diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath).
Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishol). Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath) tidak bisa mengabaikan mazhab-mazhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan bisa dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya.
2. Rasulullah SAW bersabda: عليك بالسواد الأعظم “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawad al-a’zham).” Setelah saya mempelajari berbagai mazhab yang benar, saya menemukan bahwa empat mazhab adalah golongan yang paling besar. Mengikuti empat madhzab berarti mengikut golongan paling besar.
3. Karena zaman telah jauh dari masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yang terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar. Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan oleh mereka, dan mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan. Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka.
Ayat-ayat Alquran dan sunnah langsung dirujuk, sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. Mereka terlalu jauh dibanding para ulama yang benar-benar memiliki otoritas keilmuan dan selalu berpegang teguh pada amanat ilmiah.
Kenyataan ini persis dengan apa yang dikatakan Umar ibn Khattab, “Islam akan hancur oleh perdebatan orang-orang yang bodoh terhadap Alquran.”
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Jika kamu ingin mengikuti, ikutilah orang (ulama) terdahulu (yang memegang teguh amanah ilmu pengetahuan).” Wallahu a'lam…
*Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta