REPUBLIKA.CO.ID, 'The most dangerous 'fundamentalism' today, the 'mother of all fundamentalism' is American imperialism.' Tariq Ali, 2003: xiii
Menempatkan fundamentalisme agama, terutama Islam, sebagai satu-satunya persoalan besar, sekaligus musuh, yang dihadapi umat manusia saat ini, adalah pandangan yang simplistis dan bahkan reduktif. Selain fundamentalisme Islam, ada juga sosok fundamentalisme lain yang jauh lebih berbahaya dan bahkan jauh lebih mengerikan, yakni fundamentalisme Amerika Serikat.
Fundamentalisme Amerika Serikat adalah wajah lain dari imperialisme dan hegemoni kekuasaan negera Paman Sam (Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads, and Modernity, Verso, 2003). Fundamentalisme Amerika adalah perpaduan dari kepentingan ekonomi, politik, militer, dan juga agama (fundamentalisme Kristen dan Yahudi).
Fundamentalisme imperial bertujuan untuk mendisiplinkan dunia, mengukuhkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara super power, kaisar, dan polisi dunia tanpa tanding. Demi menjaga kelangsungan kekuasaan imperial, Amerika Serikat menggunakan kreasi prioritas ekonomi dan strategi kontrol.
Amerika Serikat adalah satu-satunya kekuatan imperium raksasa pasca runtuhnya Uni Soviet. Amerika Serikat bahkan telah menguasai hampir seluruh sektor kehidupan mulai dari ekonomi, budaya, militer, hukum, dan ilmu pengetahuan. Presiden George W Bush ternyata juga berhasrat untuk membangun imperium Amerika Serikat seperti masa kejayaan imperium Romawi (Imperium Romana) di masa silam (Norman Mailer, Why are We at War, Random House, 2002).
Invasi ke Irak adalah salah satu bentuk nyata dari fundamentalisme Amerika. Setidaknya, ada tiga alasan yang membidani invasi ini (Tariq Ali, 2003: xv). Pertama, untuk menguasai ladang minyak Irak karena keberadaan negeri seribu satu malam itu berada di luar kontrol Amerika Serikat. Kedua, kekuatan militer Irak adalah ancaman bagi Israel, anak emas yang sekaligus sekutu Amerika Serikat.
Ketiga, adanya agenda domestik, yakni memenangkan kepentingan kelompok Zionis pro Yahudi di Partai Demokrat dan fundamentalisme Kristen di Partai Republik yang selalu memihak Israel. Bukan rahasia umum jika AS memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap Mossad, agen intelijen Israel.
Dalam perkembangan mutakhir, Amerika Serikat kian mengukuhkan wajahnya yang sangat fundamentalis. Secara psikologis, imperium Amerika Serikat telah mengkonstruksi musuh baru yakni terorisme Islam, sebagai setan dan ancaman global yang dapat meledakkan bom di mana saja dan kapan saja.
Secara politis, Amerika Serikat telah menggunakan tragedi 11 September untuk memetakan kembali dunia sekaligus mengontrol dan menguasainya. Di bidang militer, Amerika Serikat terus memperkuat angkatan perangnya dengan menempatkan pasukan di 120 negara dari 189 negara anggota PBB. Di bidang ekonomi, secara langsung maupun tidak, Amerika Serikat telah menguasai jaringan perekonomian global melalui berbagai agen korporasinya.
Berbeda dengan Samuel P Huntington (1993) yang melontarkan pandangannya tentang konflik antar-peradaban (the clash of civilization), Tariq Ali memprediksi terjadinya benturan yang tak terelakkan antara fundamentalisme Islam dan fundamentalisme Amerika Serikat. Benturan ini terjadi akibat perbedaan kepentingan antara fundamentalisme Amerika Serikat dan fundamentalisme Islam yang sangat sulit untuk dicari titik temunya.
*Naskah ini merupakan cuplikan dari opini berjudul "Fundamentalisme AS Vs Fundamentalisme Islam", karya Imam Cahyono, yang diterbitkan Harian Republika September 2004