REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) menyuarakan keprihatinan soal Undang-Undang (UU) Kemanan untuk Hong Kong yang telah disahkan China beberapa waktu lalu. Dewan HAM menyebut UU itu merupakan ketentuan yang kabur dan terlalu luas cakupannya.
Menurut PBB, UU tersebut dapat menyebabkan interpretasi sewenang-wenang dan penuntutan aktivis yang melanggar kebebasan berkumpul dan berekspresi. "Kami khawatir bahwa penangkapan telah dilakukan di bawah hukum dengan segera," kata juru bicara HAM PBB, Rupert Colville pada jumpa pers di Jenewa dikutip laman Channel News Asia, Jumat (3/7).
Seperti diberitakan, ratusan orang telah ditangkap dan setidaknya 10 didakwa sejak diberlakukannya UU pada Rabu. "Kami prihatin bahwa definisi beberapa pelanggaran yang terkandung dalam undang-undang itu tidak jelas dan terlalu luas dan tidak cukup membedakan antara tindakan kekerasan dan non-kekerasan," ujar Colville.
"Ini dapat menyebabkan interpretasi dan penegakan hukum yang diskriminatif atau sewenang-wenang, yang dapat merusak perlindungan hak asasi manusia," ujarnya menambahkan.
Undang-undang tersebut memuat aturan yang akan menghukum kejahatan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing hingga seumur hidup di penjara. Aturan itu juga akan secara resmi membentuk badan keamanan daratan di Hong Kong untuk pertama kalinya, dengan kekuatan di luar hukum kota, termasuk mengizinkan ekstradisi ke China untuk diadili.
Parlemen China mengadopsi RUU sebagai tanggapan terhadap protes rutin selama berbulan-bulan tahun lalu. Protes dipicu oleh kekhawatiran bahwa Beijing mencekram kebebasan kota yang dijamin oleh formula "satu negara, dua sistem" yang disetujui ketika kembali ke pemerintahan China.
Pihak berwenang di Beijing dan Hong Kong telah berulang kali mengatakan undang-undang itu ditujukan untuk beberapa "pembuat onar" dan tidak akan mempengaruhi hak dan kebebasan maupun kepentingan investor. Namun demikian, para kritikus khawatir UU akan menghancurkan kebebasan yang dianggap sebagai kunci keberhasilan Hong Kong sebagai pusat keuangan.