Jumat 03 Jul 2020 19:17 WIB

Akademisi: Riset Sejarah Seperti Kerja Jurnalistik

Teknik dasar sejarawan mencari sumber primer melalui arsip atau surat-surat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Dunia jurnalistik (ilustrasi).
Foto: simplyzesty.com
Dunia jurnalistik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan pertemuan lebih dari satu disiplin ilmu. Menerapkan satu metode untuk diterapkan ke satu studi yang lain juga bukan sesuatu yang baru, walau dalam praktiknya akan berbeda.

Peraih Disertasi Terbaik Departemen Sejarah Northwestern University 2019-2020, Luthfi Adam mengatakan, tugas utama sejarawan membangun sebuah narasi, menceritakan sesuatu. Tapi, ia menekankan, tidak sekadar untuk bercerita.

"Juga mengikutsertakan teori, ilmu sosial, dan literatur di dalamnya," kata Luthfi dalam webinar yang digelar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII).

Ia menuturkan, sejarawan memang dibebaskan untuk menentukan atau memilih topik yang ingin diteliti sesuai selera sejarawan tersebut. Walaupun, kebanyakan memang menyasar dokumen-dokumen atau arsip-arsip resmi. 

Luthfi sendiri tertarik mengumpulkan arsip media cetak, seperti penelitian yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor. Ia menjelaskan, dalam mencari sumber, yang diterapkan sejarawan mirip dengan prinsip jurnalistik. 

"Jika jurnalistik melakukan investigasi untuk mencari sumber berita, teknik dasar sejarawan mencari sumber primer, yaitu melalui arsip atau surat-surat," ujar Luthfi.

Luthfi menyampaikan, metode yang dilakukan dalam menarasikan sejarah sangat mungkin diterapkan dalam riset komunikasi. Namun, ia mengaku mencari arsip selama proses riset membutuhkan waktu lama, perlu kesabaran dan ketekunan.

Bahkan, kata Luthfi, tidak jarang dia harus membaca berbundel-bundel arsip untuk menemukannya. Karenanya, ia mengapresiasi mereka yang berupaya untuk mengkatalogkan dan mendigitalkan arsip-arsip lama.

Walau metode riset sejarah dirasa sederhana, sejarawan memiliki tantangan tertentu. Mencari, mengambil dan mengorganisir arsip sejarah menantang karena tidak cuma jumlah banyak, kadang belum dikatalogkan dan sampai satu gudang.

"Tantangan utama lain yang dihadapi sejarawan penguasaan bahasa. Misal, arsip berbahasa Belanda, sejarawan tidak hanya harus tahu artinya, tapi harus paham konteksnya," kata Luthfi.

Ia mengungkapkan, setidaknya ada tiga tipe sejarawan berdasarkanyang diteliti yaitu history of whom, history of where, dan history of what. Tapi, history of whom dibagi jadi dua lanskap, history of great man, dan history from below.

Luthfi menyarankan agar sejarah nasional juga diambil dari kacamata daerah lain, tidak selalu Jawa-sentris. Sejarah lokal lebih fokus ke suatu wilayah, sedangkan gagasan sejarah transnasional hubungan hal-hal di satu daerah dan daerah lain.

Berbeda dengan tipe sebelumnya, history of what berfokus perkembangan sebuah topik seiring berjalannya waktu. Ada tiga bagian history of what, yakni environmental history, history of science and technology, dan history of knowledge.

"Ide utamanya agar lingkungan, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan memberikan dampak bagi kehidupan. Contohnya peran radio dalam menyampaikan gagasan selama masa kemerdekaan," ujar Luthfi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement