Jumat 03 Jul 2020 20:16 WIB

Indef: Perlu Insentif untuk Dukung Industri Pangan Lokal

Insentif dibutuhkan agar petani mau menghasilkan produk pangan non beras.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pangan lokal (ilustrasi). Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menegaskan pentingnya pangan lokal dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.
Foto: Kementan
Pangan lokal (ilustrasi). Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menegaskan pentingnya pangan lokal dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mulai mengkampanyekan diversifikasi pangan lokal untuk menurunkan ketergantungan pangan pada beras. Insentif dibutuhkan agar industri pengolahan pangan lokal dapat hidup dan menarik minat masyarakat untuk beralih pangan.

Peneliti Insititute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, wacana diversifikasi pangan sangat tepat pada momentum Covid-19 kali ini. Hanya saja, dibutuhkan insentif bagi industri pengolahan maupun petani agar mau menghasilkan produk pangan lokal non beras.

Baca Juga

"Harus ada insentif yang menjadikan orang itu tergerak untuk menanam. Selanjutnya mendorong tumbuhnya industri pengolah pangan misalnya dengan memberikan keringanan pajak atau subsidi bunga pinjaman," kata Rusli kepada Republika.co.id, Jumat (3/70.

Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus dari sisi suplai. Di mulai dari peningkatan produksi hingga kegiatan pasca panen dan komersialisasi produk. Selanjutnya diikuti dengan kampanye masif kepada masyarakat agar perlahan memahami dan tertarik pada pangan lokal.

"Jangan memaksakan sisi permintaan karena soal pangan itu rasional setiap konsumen. Begitupun di pasar, kalau dipaksa akan rusak. Yang penting produknya ada," kata Rusli.

Lebih lanjut, Rusli menuturkan meskipun Indonesia baru saja dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, sekitar 94 persen pengeluaran masih digunakan untuk padi-padian penghasil pangan karbohidrat. Oleh karena itu, diversifikasi pangan ke non beras mesti dilakukan sejak saat ini.

Terlebih, kata Rusli, harga beras dunia dalam tiga tahun terakhir juga terus meningkat. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya turunnya produksi. Di Indonesia sendir, menurut dia, penyempitan lahan akibat adanya konversi sawah menjadi penyebab utama turunnya produksi beras.

"Idealnya pangan beras harus berkurang, karena pangan lokal yang lain konsumsinya masih rendah," kata Rusli.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan penurunan konsumsi beras nasional hingga lima tahun ke depan sebesar 7 persen. Penurunan itu diupayakan agar masyarakat dapat beralih ke komoditas pangan lokal lainnya yang mulai mendapatkan perhatian pemerintah.

Mengutip data Kementan, khusus tahun 2020 lalu rata-rata konsumsi beras ditargetkan turun ke posisi 92,9 per kg per kapita per tahun dari posisi tahun lalu sebesar 94,9 per kg per kapita per tahun. Hingga tahun 2024 mendatang, ditargetkan konsumsi sudah turun 7 persen ke posisi 85 per kg per kapita per tahun.

Penurunan itu setara 1,77 juta ton senilai Rp 17.78 triliun. Namun dengan catatan, penurunan konsumsi beras bisa dicapai asalkan ada intervensi dari pemerintah. Tanpa intervensi, turunnya konsumsi beras hanya mampu mencapai posisi 91,2 per kg per kapita per tahun.

Berdasarkan pemetaan setidaknya terdapat enam komoditas pangan lokal yang diandalkan. Yakni jagung, pisang, ubi kayu, kentang, sagu, dan talas. Keenam komoditas itu kurun waktu 2015-2019 mengalami stagnasi konsumsi. Sementara, tren produksi perlahan meningkat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement