REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Keterampilan memanah sebagai salah satu sebuah sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW turut dipraktikkan para sultan Turki Utsmani. Keterampilan memanah ini sudah dilakukan para lelaki Turki sejak sebelum kekhalifahan berdiri.
Setiap lelaki Turki melakukan kegiatan memanah apa pun statusnya di masyarakat. Mereka mengikuti pelatihan ketat dalam jangka waktu panjang sejak kecil, terlebih sejak zaman keislaman. Hal ini membuat seni memanah mendapatkan tempat amat penting bagi masyarakat Turki.
Pada zaman Mehmed I dan Murad II, berbagai Okmeydani beserta pusat perkumpulan pemanah yang disebut dengan Tekke-i Rumat dibuka di Geli bolu, Bursa, dan Edirne. Melalui Okmey dani dan Tekke ini, kegiatan panahan menjadi olahraga yang dilembagakan pemerintah.
Mehmed II (1432-1481) yang dikenal sebagai penakluk Konstantinopel terkenal sebagai ahli memanah. Sultan yang berjuluk Muhammad al-Fatih ini sempat meninggalkan sebuah kenangan seusai memasuki Konstantinopel yang baru saja ditaklukkan. Dia sempat menembakkan sebuah anak panah berbulu empat helai tepat pada kubah Hagia Sophia. Jejak anak panah itu masih bisa dilihat.
Al-Fatih juga mendirikan Okmeydani di atas lahan yang dibelinya sendiri dengan harga dua kali lipat. Dia menyerahkan fasilitas tersebut kepada para pemanah yang segera mendirikan Tekke.
Biaya pengelolaan fasilitas dan perkumpulan tersebut dibayarkan pemerintah. Tekke pun menjadi tempat terhormat yang dilindungi hukum setempat.
Sultan Bayezid II (1447-1512) pun memiliki ketertarikan yang tinggi pada seni memanah. Berbagai pertandingan memanah diselenggarakan pada masa pemerintahannya. Para pemecah rekor jarak terjauh dihadiahi tanah yang luas. Jika dia seorang prajurit maka diberi kenaikan pangkat.
Sultan Selim I (1466-1520) memusatkan pembuatan busur di Istanbul pada 1516 seusai menutup kawasan yang sama, yakni Qaysariyat al-Qawasin di Damaskus. Pemindahan tersebut membuat Turki Utsmani menjadi pewaris utama seni memanah peradaban Islam.
Tidak hanya menerapkan kebijakan untuk pengembangan panahan, Sultan Selim I dikenal sebagai ahli memanah jarak jauh. Salah satu tiang marmer di Okmeydani yang dibangun Sultan Muhammad al-Fatih merupakan milik Selim I. Tiang marmer itu menandai hasil tembakan terjauh. Tempat berdirinya tiang marmer tersebut diberi nama Menziltasi yang berarti batu penanda menzil.
Tradisi seni memanah di kalangan sultan-sultan Utsmaniyah dilanjutkan putra Selim I, yakni Sulayman al-Kanuni (1494-1566) dan para penerusnya. Pada pertengahan abad ke-16, terdapat 34 Ok meydani dalam wilayah Utsnamiyah.
Di antaranya berada di Makkah, Iskan dariyah, Kairo, Damaskus, Ankara, Konya, Halab, Sofia, Belgrade, Bursa, Edirne, Istanbul, dan berbagai kota lainnya (dikutip dari buku Seni Memanah dari Zaman Nabi Muhammad hingga Dinasti Utsmaniyah karya Irvan Setiawan Mappaseng)