REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Sebanyak 20 orang dinyatakan meninggal dunia akibat banjir dan longsor yang terjadi setelah hujan deras di Pulau Kyushu, Jepang. Sementara, 14 orang di antaranya masih hilang.
Siaran televisi resmi pemerintah, NHK, Ahad (5/7), melaporkan, otoritas setempat memprediksi hujan deras masih akan turun setelah banjir merendam Prefektur Kumamoto, Sabtu (4/7). Insiden itu jadi bencana alam terburuk di Jepang setelah adanya Badai Hagibis pada Oktober tahun lalu.
Badai pada 2019 itu menyebabkan 90 orang meninggal dunia. Perdana Menteri Shinzo Abe saat rapat dengan gugus tugas bencana meminta petugas meningkatkan operasi pencarian dan penyelamatan.
"Tidak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan nyawa. Tolong bekerja sampai malam untuk mencari warga yang hilang," kata Abe.
"Tidak ada listrik dan air, ini sangat sulit," kata salah satu warga yang selamat.
Sementara itu, sebuah pusat kebugaran menjadi pusat evakuasi yang dilengkapi dengan masker, disinfektan, dan termometer untuk mencegah penyebaran COVID-19. Badan Meteorologi Jepang meminta warga untuk tetap waspada mengingat hujan diprediksi akan turun.
"Mulai petang ini, hujan deras ekstrem dengan petir akan turun di wilayah selatan dan utara, termasuk di Kyushu, hujan menyebabkan daya tahan tanah rapuh. Kemungkinan besar akan terjadi longsor, tanpa perlu lagi ada hujan," tambah Badan Meteorologi Jepang.
Sebelumnya, pemerintah Jepang meminta ribuan orang di Kyushu untuk dievakuasi pada Sabtu (4/7). Hujan lebat terjadi di pulau terbesar ketiga negara itu dan berpotensi mengakibatkan banjir dan tanah longsor.
Akses jalan dan rumah-rumah dilaporkan terputus akibat banjir dan menghanyutkan sebuah jembatan. Dalam sebuah tayangan berita di stasiun televisi NHK, terlihat rumah-rumah dan mobil-mobil yang dibanjiri oleh air berlumpur.